Pages

Minggu, 21 Juli 2013

TALFIQ DALAM PERMASALAHAN MADZHAB


     BAB  I
PENDAHULUAN

1.      Pendahuluan            
Ilmu Fiqih merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistinbatkan hukum syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Pada zaman sekarang ini banyak sekali diperdebatkan masalah-masalah mazhab dikalangan masyarakat, mereka banyak yang mempermasalahkan mazhab-mazhab tersebut. Sebagai contoh ada seseorang yang beranggapan bahwa mazhab Syafi`i yang paling benar, ada pula yang mengatakan bahwa mazhab Hambali lah yang paling benar. Dan bahkan ada yang menggunakan dua mazhab sekaligus.
Permasalahan-permasalahan tersebut sebenarnya ada pembahasannya didalam ushul fiqh, yang mana kita kenal dengan istilah “talfiq”. Talfiq adalah pembahasan dalam ushul fiqh yang ramai dan tetap hangat untuk didiskusikan, dan pembahasan ini sangat kita butuhkan, terutama juga masyarakat kita di Indonesia, oleh karena itu kita dituntut agar mengetahui, meneliti dan mendalami ilmu usul fiqh terutama untuk materi  ini, sehingga kita tidak canggung ketika dihadapkan permasalahan atau pertanyaan tentang masalah ini. Makalah ini mencoba menguraikan masalah yang berkenaan dengan talfiq di dalam islam dan bagaimana hukum talfiq itu sendiri.

2.      Rumusan masalah
Dari uraian di atas dapat diambil beberapa permasalahan sebagai berikut :
A.      Apakah pengertian talfiq?
B.       Bagaimana hukum talfiq dalam fiqh?
C.       Bagaimana hukum memilih pendapat yang ringan dalam talfiq?
D.      Bagaimana kontroversi tentang pelarangan talfiq?
E.       Talfiq seperti apa yang dilarang dalam hukum islam?


BAB II  
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Talfiq
التلفيق اخد جميع الا حكام المتعلقة بوسائل المسا لة ومقدماتها من مداهب وارء مختلفة
Kata talfiq menurut etimologi (bahasa) memiliki arti penemuan, perpaduan, merapatkan dua tepi yang berbeda atau menggabungkannya.[1]
Sedangkan talfiq menurut istilah ialah mengambil beberapa hukum yang berpautan dengan wasilah-wasilah dan muqaddimah-muqaddimah suatu masalah dari berbagai madzhab dan bermacam-macam pendapat. Talfiq dapat juga diartikan mengambil pendapat dari seorang mujtahid kemudian mengambil lagi dari seorang mujtahid lain, baik dalam masalah yang sama maupun dalam masalah yang berbeda. Atau definisi lainnya yaitu menyelesaikan suatu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri atas kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih.[2]
Contoh talfiq dalam satu masalah, seperti dalam masalah wudhu. Seseorang tidak melafalkan niat karena mengikuti madzhab hanafi, tapi dalam hal mengusap kepala ketika wudhu, cukup sebagian kepala saja, karena mengikuti madzhab maliki misalnya. Sedangkan contoh talfiq dalam masalah yang berbeda adalah seperti seseorang mengikuti pendapat syafi`I dalam masalah iddah wanita yang di talak, karena merasa alasannya lebih kuat dari mazhab lain umpamanya. Sedang dalam hal tidak adanya wali mujbir dalam perkawinan, ia mengikuti pendapat hanafi, karena merasa alasannya lebih kuat.
Para ulama` fiqh sepakat bahwa talfiq ini terbatas pada masalah-masalah furu`iyah ijtihadiyah dhanniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi yg masih perkiraan). Adapun pada masalah ushuliyyah (pokok dasar agama) seperti masalah iman atau aqidah itu bukanlah ruang lingkup talfiq . Dikarenakan bertaklid saja dalam masalah ini tidak dibenarkan apalagi bertalfiq.


[1] Drs. Totok Jumantoro, Drs. Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, hal. 322.
[2] Drs. H. A. Basiq Djalil,S.H.,M.A.Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2, Prenada Media Group, Jakarta, 2010, Cetakan Pertama, Hal. 207
Mengenai hukum-hukum furu`iyah yang menjadi ajang bahasan talfiq di atas, ulama` fiqh telah mengelompokkan menjadi tiga bagian sebagai berikut:
a.         Hukum yang berdasar pada kemudahan dan kelapangan yang berbeda-beda sesuai perbedaan kondisi setiap manusia. Hukum-hukum seperti inilah yang termasuk kemurnian ibadah, karena dalam masalah ibadah seperti initujuannnya adalah kepatuhan dan kepasrahan diri seorang hamba kepada Allah Swt.
b.         Hukum yang didasarkan pada sikap wira’i dan ke-ihtiyatan. Hukum-hukum seperti ini biasanya berkaitan dengan sesuatu yang dilarang Allah Swt karena membuat mudharat. Dalam hukum ini tidak dibenarkan mengambil kemudahan dan bertalfiq kecuali dalam keadaan darurat. Misalnya larangan memakan bangkai. Dalam hal ini Rasul bersabda : “Segala sesuatu yang aku larang tinggalkanlah, dan segala yang aku perintahkan kerjakanlah sesuai kemampuanmu”.
c.         Hukum yang didasarkan pada kemaslahatan dan kebahagiaan bagi manusia. Misalnya, pernikahan, had-had dan transaksi sosial ekonomi.

2.      Hukum talfiq dalam fiqh
Menanggapi hukum boleh tidaknya talfiq ini, ulama‘ terbagi menjadi dua kelompok, yaitu :
Pertama, kelompok yang tidak membolehkan adanya talfiq, kelompok ini diwakili oleh syeikh Ibnu Abdul Bari, menurut beliau orang awam tidak boleh bertalfiq, karena hal tersebut hanya akan menghilangkan taklif (pembebanan) hukum yang diperselisihkan (mukhtalaf fih) oleh para ulama. Kebanyakan ulama melarang melakukan talfiq karena kebiasaan umat muslim terdahulu yang tidak pernah melakukan talfiq, tapi bila mengikuti seorang Imam, maka seluruh pendapat Imam tersebut diikuti. Bahkan talfiq sendiri baru dibahas di kalangan ulama pada abad tujuh hijriah.[3]
Pendapat pertama ini juga diperkuat oleh Imam al-Ghazali. Beliau melarang praktik talfiq dengan alasan hal tersebut condong pada mengikuti hawa nafsu, sementara syari‘at, menurut beliau datang untuk mengekang liarnya hawa nafsu. Sehingga setiap perkara harus dikembalikan kepada syari‘at bukan kepada hawa nafsu. Beliau menyitir ayat al-Quran yang berbunyi :
 

[3] Wahbah, al-Fiqh al-Islamy, hlm. 142
“Jika kamu berselisih paham tentang suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah Swt”.
Kedua, kelompok yang membolehkan praktik talfiq, diantaranya adalah sebagian ulama‘ Malikiyah, mayoritas Ashab Syafi‘i serta Abu Hanifah: mereka membolehkan talfiq dengan alasan bahwa larangan talfiq tersebut tidak ditemukan dalam syara‘, karenanya seorang mukallaf boleh menempuh hukum yang lebih ringan. Manusia sejatinya mengikuti pendapat paling ringan dari seorang mujtahid yang boleh diikuti dan tidak ada celaan dari syariat tentang itu dan bahkan Rasul menyukai apa yang mudah bagi umatnya.[4]
Selain itu, ada hadits Nabi (qauliyah maupun fi‘liyah) yang menunjukkan bolehnya talfiq. Dalam sebuah hadits yang dituturkan oleh Aisyah, Nabi bersabda:
” Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut “.Dalam hadits lain beliau bersabda : “Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”.
DR. Wahbah Zuhaili juga sepakat tentang kebolehan talfiq ini, menurut beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan darurat, asal tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja yang sama sekali tidak mengandung maslahat syar‘iyat.
Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya.

3.      Hukum memilih pendapat yang ringan
Dalam permasalahan talfiq kita tidak diperbolehkan mengambil pendapat yang ringan dengan unsur kesengajaan atau tanpa kedaruratan, karena barang siapa yang mengambil kemudahan dengan cara ini maka dihukumi fasiq, menurut pendapat sebagian ulama`. Akan tetapi menurut pendapat sebagian ulama` yang lain , tidak menghukumi fasiq apabila menjelaskan perbedaan ulama pada masalah-masalatersebut.

 [4]  Wahbah, al-Fiqh al-Islamy, hlm 147
Sedang menurut Imam Ghozali dan pendapat yang al-Ashoh menurut Malikiyyah  dan Hanabilah, yaitu melarang praktek mengambil pendapat yang ringan tersebut  di  dalam  madzhab-madzhab, karena  hal  tersebut  condong  pada pengikutan hawa nafsu, sementara syari‘at, menurut beliau datang untuk mengekang liarnya dan tidak terkontrolnya hawa nafsu.
Sebagian ulama’ Malikiyyah yang dipelopori oleh imam Al-Qorofi dan juga mayoritas ulama` Syafi`iyyah, serta pendapat yang rojih menurut ulama` Hanafiyyah, yaitu berpendapat memperbolehkan mengikuti pendapat yang ringan dari berbagai madzhab. Karena tidak adanya nash yang shorih yang melarang hal tersebut dan juga memberikan jalan kemudahan atas manusia, sebagaimana hadits Nabi yang menyatakan bahwa “Rasulullah tidak pernah disuruh memilih sesuatu kecuali akan memilih yang paling mudah” . Tentang hal kebolehan mengambil pendapat yang mudah ini imam Al-Qarafi mensyaratkan, tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang telah diikutinya.

4.      Kontroversi tentang pelarangan talfiq
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi masalah tafiq, sebagian mereka melarang secara mutlak, sebagian lagi membolehkan secara mutlak, dan sebagian yang lain lagi membolehkannya secara bersyarat.
Ulama yang melarang talfiq secara mutlak mengemukakan argumen bahwa membolehkan berpindah-pindah madzhab akan berdampak pada timbulnya kekacauan dalam beragama, atau akan terbuka sikap memilih-milih pendapat untuk menghindari beban talfiq. Contohnya seperti dalam kasus perkawinan, sebagian ulama membolehkan perkawinan tanpa wali, sebagian lagi membolehkan perkawinan tanpa saksi dan sebagian lagi membolehkan perkawinan tanpa mahar. Akhirnya seorang muqallid kawin tanpa wali, tanpa saksi dan tanpa mahar.
Ulama yang membolehkan talfiq secara mutlak mengemukakan alasan bahwa secara syar’ie setiap orang awam boleh bertanya kepada siapa saja asalkan orang ‘alim, dan orang awam boleh mengamalkan pendapat yang manapun tanpa harus mengikuti madzhab tertentu, karena orang awam tidak punya madzhab (al-‘amie laa madzhaba lahum). Demikian telah berjalan semenjak masa Rasulullah masih hidup sampai masa sahabat, tabi’in dan masa-masa seterusnya, tidak ada larangan apapun.

Sedangkan Ulama yang membolehkan talfiq secara bersyarat, yaitu harus satu qadhiyah, atau satu perkara atau satu urusan tertentu. Misalnya perkara shalat dan hal-hal yang berkaitan dengan itu, perkara zakat dan hal-hal yang berkaitan dengan itu, dan perkara-perkara agama lainnya. Dasar pemikiran pendapat ini sama dengan pendapat pertama, yaitu agar dapat menghindari terjadinya kekacauan dalam beragama.

5.      Talfiq yang dilarang dalam hukum Islam
Meskipun sebagian ulama memperbolehkan talfiq, terutama dari kalangan ulama mutaakhirin akan tetapi kebolehan talfiq itu tidaklah bersifat mutlak, bahkan kebolehannya terbatas di dalam ruang lingkup tertentu. Diantara talfiq yang dilarang aadalah talfiq yang batal karena esensinya (dzatnya),sebagaimana talfiq yang mengakibatkan halalnya hal-hal haram seperti minuman keras, zina dan lainnya.
Kemudian adapula talfiq yang dilarang bukan karena dzatnya akan tetapi karena hal lain, talfiq bentuk kedua ini yang dilarang ada dua macam sebagai berikut :
a.    Talfiq yang secara sengaja dimaksudkan mencari yang ringan-ringan saja dalam hukum syara’ misalnya, seseorang mengambil dari masing-masing madzhab pendapat yang paling lemah, tanpa terdesak oleh darurat atau alasan lain. Hal ini dilarang dalam rangka menutup pintu kerusakan akibat menyepelekan hukum syara’.
Contoh: seperti dalam kasus perkawinan, sebagian ulama membolehkan perkawinan tanpa wali, sebagian lagi membolehkan perkawinan tanpa saksi dan sebagian lagi membolehkan perkawinan tanpa mahar. Akhirnya seorang muqallid kawin tanpa wali, tanpa saksi dan tanpa mahar. Dia hanya mencari yang ringan-ringan saja dan tidak dalam keadaan darurat. Talfiq seperti ini tidak diperbolehkan, karena menyepelekan hukum syara’.
b.    Talfiq yang dapat berakibat pembatalan putusan hakim, menghilangkan persengketaan, dalam rangka menghindari kekacauan.
Contoh: ada sebuah kejadian, pencurian misalnya. Dalam kasus ini hakim sudah mengeluarkan putusan, kemudian ada orang menentang putusan hakim denga alasan talfiq. Dia berdalih menurut madzhab ini misalnya, kasus pencurian tidak diqishas.
Nah, talfiq yang seperti ini tidak diperbolehkan karena
                                                                          حُكْمُ الْحَاكِمِ يَلْزَمُ وَيَرْفَعُ الْخِلافَ
“Putusan hakim itu mengharuskan dan menghilangkan khilaf”.
c.    Talfiq yang berakibat terhadap peninjauan kembali apa yang telah diamalkan seseorang atas dasar takqlid, atau hal yang diijma`kan ulama yang berkenaan dengan hal yang ditaklidkan.
Contoh: Orang bermadzhab Syafi’I, dia melaksanakan wudhu sesuai madzhab Syafi’I. Setelah wudhu ia bersentuhan dengan ajnabiyyah, namun ia beranggapan wudhunya tidak batal, dia berdalih menurut madzhab Maliki hal tersebut tidak batal. Padahal menurut madzhab Syafi’I bersentuhan dengan ajnabiyyah itu membatalkan wudhu.
Talfiq yang demikian ini tidak diperbolehkan, karena menjatuhkan mujtahid, padahal
الاجتهاد لا ينقض الا با لاجتهاد
“ ijtihad itu tidak bisa dirusak kecuali dengan ijtihad”.
Maka muqallid tadi harus meninjau kembali apa yang telah ia amalkan atas dasar taqlid.



BAB III
PENUTUP

1.    Kesimpulan
Dari ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bermazhab adalah konsekuensi dari ketidakmampuan untuk berijtihad sendiri secara independen. Dengan demikian, tidak ada celaan bagi mereka yang bermazhab. Bermazhab juga tidak harus tertentu pada satu mazhab saja, namun boleh berpindah-pindah pada mazhab manapun dalam mazhab empat atau mazhab lainnya bila sumber yang diikuti valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Adapun bila seorang muqallid  mencampurkan beberapa pendapat menjadi satu dalam satu qadhiyah hukum sehingga hasilnya tidak diakui oleh masing-masing imam yang diikuti, maka kebanyakan ulama melarang hal tersebut, namun sama sekali tidak ada alasan yang dbisa diterima untuk hal itu, sehingga boleh saja hal tersebut dilakukan, selama tidak melawan keputusan hakim, murni mengikuti hawa nafsu tanpa adanya kebutuhan, atau berkenaan dengan hal-hal mu’amalat yang membutuhkan kepastian hukum yang tegas untuk menegakkan maslahat.

2.    Penutup
Demikian makalah ini dibuat, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk selanjutnya bimbingan dari dosen serta saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat kami harapkan dalam kesempurnaan makalah ini agar makalah kedepan dapat lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.            







TALFIQ DALAM PERMASALAHAN MADZHAB


MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata KuliahFiqih
Dosen Pengampu: H. Amin Farih, M.Ag



Disusun oleh :
Kelompok 4
  Haniek Lathifah        ( 123911212 )
  Heni Isnawati            ( 123911213 )



PROGAM DUAL MODE SISTEM ( S1)
FAKULTAS TARBIYAH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2013

DAFTAR PUSTAKA



Al-Zuhali, Wahbah. 1986. Al-Fiqh al-Islamy. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Sharwany, ‘abd al-Hamid. 1985. Awashi al-Sharwany ‘Ala Tuhfah al-Minhaj. Beirut: Dar al-Fikr.
Yahya, Mukhtar dan Fathur Rahman. 1993. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung: Al ma’arif.
Hadi Permeno, Sjechul. 2002. Dinamisasi Hukum Islam Dalam menjawab Tantangan Era Globalisasi. Surabaya: Demak Press.
Muhammad bin ‘Abd al-Az, Imam al-Rumy al-Mury. 1988. Al-Qoul al-Sadid Fi Bad’i Masail al-Ijtihad wa al-Talfiq. Kuwait: Dar al-DA’wah.
Jumantoro Totok,Amin Samsul Munir. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: Amzah.
Muhammad Hasbi As Shiddieqie. 1999. Pengantar Ilmu Fikih. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
http://www.dalilmahasiswa.wordpres.com/2012/12/29/makalah-ushul-fiqh-3-talfiq-tauqif-dan-taufiq/, di unduh 07-04-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa komentar dan masukan anda dengan blog ini ?

Followers