FIQIH MUAMALAH
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: Fiqih
Dosen pengampu: H. Amin Farih, M.Ag
Di susun oleh:
SRI LESTARI NIM 123911285
SRI SOFIYATI NIM 123911286
PROGRAM DUAL MODE SISTEM (S 1)
PGMI – FAKULTAS TARBIYAH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Allah
SWT telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama lain,
supaya mereka tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusan
kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jual-beli, sewa-menyewa, bercocok
tanam, atau yang lainnya. Baik dalam kepentingan sendiri maupun untuk
kemaslahatan umum. Dengan cara demikian kehidupan manusia menjadi lebih teratur,
pertalian yang satu dengan yang lainpun menjadi teguh. Akan tetapi, sifat
tamak, mementingkan diri sendiri tetaplah ada pada manusia. Oleh sebab itu
agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya. Karena dengan teraturnya muamalat,
maka penghidupan manusia jadi terjamin pula dengan sebaik-baiknya.
B.
Rumusan masalah
Ada
beberapa permasalahan yang dapat dibahas dalam bab muamalat ini, diantaranya
yaitu sebagai berikut:
1. Apa itu Hajru, Baligh, Wali yatim,
Sulhu, Ikrar, Wakil, dan Ariyah?
2. Apakah yang dimaksud dengan Hibah,
Hadiah, Wadi’ah, dan Luqatah itu?
3. Dan apakah yang dinamakan dengan Ihya’
al-Mawat, Syuf’ah, dan Khasbu?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Hajru
Hajru
ialah melarang atau menahan seseorang dari membelanjakan (memperedarkan)
hartanya. Yang berhak melarang adalah wali atau hakim.
Tujuan larangan ini ada
dua macam:
1. Dilakukan larangan terhadap seseorang
guna menjaga hak orang lain, seperti larangan terhadap:
a. Orang yang berhutang, sedangkan
hutangnya tunai dan lebih banyak dari hartanya. Ia dilarang berbelanja guna
menjaga yang berpiutang;
b. Orang sakit payah, dilarang berbelanja
lebih dari hartanya guna menjaga hak warisnya;
c. Orang yang merungguhkan (menjaminkan),
dilarang membelanjakan barang yang sedang dirungguhkan atau dijaminkan.
d. Orang murtad, dilarang memperedarkan
hartanya guna menjaga hak muslimin.
2. Dilarang karena menjaga haknya sendiri,
misalnya:
a. Anak kecil, hendaklah dijaga tidak boleh
membelanjakan hartanya hingga berusia balig dan sudah pandai berbelanja;
b. Orang gila, dilarang berbelanja
(bertasarruf) sampai sembuh;
c. Orang yang menyia-nyiakan hartanya
(pemboros), dilarang berbelanja sampai ia sadar.
Terhadap
semua orang yang tersebut diatas, wajib dilakukan larangan oleh wali
masing-masing atau hakim. Apabila telah dilakukukan kepada mereka larangan,
maka tasarruf (memperedarkan) harta mereka tidak sah.1
B.
Baligh
Seorang
anak bisa dihukumi baligh apabila sudah memenuhi salah satu dari tanda-tanda
baligh di bawah ini:
1. Genap berumur 15 tahun
(Qomariyah/Hijriyah) bagi anak laki-laki atau perempuan;
2. Keluar mani pada saat minimal usia 9 tahun (Hijriyah) bagi anak laki-laki
atau perempuan;
3. Haidh bagi anak perempuan;
4. Hamil/Melahirkan, pada hakikatnya hal
ini bukanlah menjadi salah satu tanda baligh bagi wanita. Akan tetapi yang
menjadi tanda baligh adalah keluarnya sperma yang ditandai dengan adanya
melahirkan.2
1H.
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo,2009), hlm. 315.
2Lajnah
Bahtsul Masa’il Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Pondok Pesantren Lirboyo Kediri
Jawa Timur, Uyunul masa’il Linnisa’,
2008, hlm. 19-21.
C.
Wali Yatim
Wali
anak yatim, kalau dia miskin tidak ada halangan baginya mengambil harta anak
yatim yang dipeliharanya sekedar untuk keperluan hidupnya sehari-hari. Hal itu
diperbolehkan jika ia terhalang berusaha yang lain karena mengurus harta anak
yatim yang dipeliharanya itu.
Firman
Allah SWT dalam Q.S An Nisa’: 6
(#qè=tGö/$#ur
4yJ»tGuø9$#
#Ó¨Lym
#sÎ)
(#qäón=t/
yy%s3ÏiZ9$#
÷bÎ*sù
Läêó¡nS#uä
öNåk÷]ÏiB
#Yô©â
(#þqãèsù÷$$sù
öNÍkös9Î)
öNçlm;ºuqøBr&
(
wur
!$ydqè=ä.ù's?
$]ù#uó Î)
#·#yÎ/ur
br&
(#rçy9õ3t
4
`tBur
tb%x.
$|ÏYxî
ô#Ïÿ÷ètGó¡uù=sù
(
`tBur
tb%x.
#ZÉ)sù
ö@ä.ù'uù=sù
Å$rá÷èyJø9$$Î/
4
#sÎ*sù
öNçF÷èsùy
öNÍkös9Î)
öNçlm;ºuqøBr&
(#rßÍkôr'sù
öNÍkön=tæ
4
4xÿx.ur
«!$$Î/
$Y7Å¡ym
ÇÏÈ
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka
cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas
(pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan
janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah
kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di
antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan
harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta
itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka,
Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka.
dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).
Sedangkan,
bagaimana jika mencampurkan harta wali dan harta anak yatim?
Untuk mencampurkan
harta wali dan harta anak yatim tidak ada halangan, asal dengan niat yang baik,
bukan dimaksudkan untuk merusak harta anak yatim itu. Karena yang dilarang
adalah merugikan atau merusak harta anak yatim. Dalam so’al ini bergantung
kepada niat wali ketika bertassaruf atau menjalankan harta anak yatim itu.
Firman
Allah SWT dalam QS. Al Baqarah ayat 220, yang artinya:
“Dan
mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah ‘mengurus urusan mereka
secara patut adalah baik. Dan jika kamu bergaul akrab dengan mereka, anggaplah
mereka adalah saudaramu, dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari
yang mengadakan perbaikan.” (Al Baqarah: 220)
Ayat diatas diturunkan
karenaturunya surat An Nisa’ ayat 10:
¨bÎ)
tûïÏ%©!$#
tbqè=à2ù't
tAºuqøBr&
4yJ»tGuø9$#
$¸Jù=àß
$yJ¯RÎ)
tbqè=à2ù't
Îû
öNÎgÏRqäÜç/
#Y$tR
(
cöqn=óÁuyur
#ZÏèy
ÇÊÉÈ
“sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebanarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.”
Sahabat-sahabat
Rasulullah meninggalkan anak-anak yatim yang ada di dalam pemeliharaan mereka
karena takut mendengar surat An Nisa’: ayat 10 tersebut. Maka untuk
menghilangkan kekhawatiran mereka dan anak-anak yatim tetap terpelihara, Allah
menurunkan surat Al Baqarah ayat 220 di atas.3
3H.
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo,2009), hlm. 317-318.
D.
Sulhu (Perdamaian)
1.
Pengertian
Sulhu
Sulhu ialah akad
perjanjian untuk menghilangkan rasa dendam, permusuhan atau perbantahan.
Mengadakan perdamaian adalah suatu perkara yang sangat terpuji, bahkan
diperintahkan agama islam. Firman Allah SWT:
“Perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (An Nisa’: 128).
Dan Nabi Muhammad SAW
bersabda:
اَلصُّلْحُ
جَاِئزٌ بَيْنَ اْلمُسْلِمِيْنَ إِلَا صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَ حَرَامًا,
وَالمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَاَّ شَرْطًا حَلَالًا اَوْ اَحَلَّ حَرَامًا
( رواه ابن حبان والترمذى)
Artinya:” Perdamaian dibolehkan antara orang-orang
islam, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram. Dan orang-orang islam boleh berpegang kepada syarat-syarat mereka,
kecuali syarat-syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram. (HR. Ibnu Hibban dan At-Trmidzi(
Macam-macam perdamaian
a. Perdamaian antara Muslimin dengan non
Islam (kafir harbi);
b. Perdamaian antar imam dengan kaum bugah(kaum yang tidak tunduk kepada imam
atau kaum pemberontak);
c. Perdamaian antara suami istri;
d. Perdamaian antara dua orang yang
bersengketa bukan dalam masalah harta;
e. Perdamaian antara dua orang yang
bersengketa dalam masalah harta.4
E.
Ikrar (pengakuan)
1.
Pengertian
ikrar
Ikrar ialah mengakui
kebenaran sesuatu yang bersangkutan dengan dirinya untuk orang lain, umpamanya
seorang berkata, “Saya mengaku bahwa saya telah minum arak,” atau “Saya mengaku
bahwa saya berutang kepada orang lain.”
Firman Allah SWT:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä
(#qçRqä.
tûüÏBº§qs%
ÅÝó¡É)ø9$$Î/
uä!#ypkà
¬!
öqs9ur
#n?tã
öNä3Å¡àÿRr&
Írr&
ÈûøïyÏ9ºuqø9$#
tûüÎ/tø%F{$#ur
4
bÎ)
ïÆä3t
$ÏYxî
÷rr&
#ZÉ)sù
ª!$$sù
4n<÷rr&
$yJÍkÍ5
(
xsù
(#qãèÎ7Fs?
#uqolù;$#
br&
(#qä9Ï÷ès?
4
bÎ)ur
(#ÿ¼âqù=s?
÷rr&
(#qàÊÌ÷èè?
¨bÎ*sù
©!$#
tb%x.
$yJÎ/
tbqè=yJ÷ès?
#ZÎ6yz
ÇÊÌÎÈ
Artinya: “ Wahai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia
Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.(An Nisa’: 135)
Kata
Ahli Tafsir, saksi atas diri sendiri itulah yang dimaksud dengan ikrar. Ikrar
tersebut berguna untuk membuktikan kebenaran, melahirkan, budi pekerti yang
baik, dan menjauhkan diri dari sesuatu yang batil.
4H.
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta:
Amzah, 2010), hlm.483.
Sedangkan
dalam sebuah Hadits disebutkan contoh berikrar. Yaitu:
وَعَنْ
عِمْرَانَ بْنِ حَصِينٍ رضي الله عنه ( أَنَّ اِمْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ أَتَتْ
نَبِيَّ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم -وَهِيَ حُبْلَى مِنْ اَلزِّنَا-فَقَالَتْ:
يَا نَبِيَّ اَللَّهِ! أَصَبْتُ حَدًّا, فَأَقِمْهُ عَلَيَّ, فَدَعَا نَبِيُّ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَلِيَّهَا. فَقَالَ: أَحْسِنْ إِلَيْهَا فَإِذَا
وَضَعَتْ فَائْتِنِي بِهَا فَفَعَلَ فَأَمَرَ بِهَا فَشُكَّتْ عَلَيْهَا
ثِيَابُهَا, ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَرُجِمَتْ, ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا, فَقَالَ
عُمَرُ: أَتُصَلِّي عَلَيْهَا يَا نَبِيَّ اَللَّهِ وَقَدْ زَنَتْ? فَقَالَ:
لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِّمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ
اَلْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ, وَهَلْ وَجَدَتْ أَفَضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ
بِنَفْسِهَا لِلَّهِ? ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ(
Dari Imran Ibnu Hushoin Radliyallaahu 'anhu bahwa ada
seorang perempuan dari Juhainah menemui Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
-dia sedang hamil karena zina- dan berkata: Wahai Nabi Allah, aku harus
dihukum, lakukanlah hukuman itu padaku. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam memanggil walinya dan bersabda: "Berbuat baiklah padanya, apabila
ia melahirkan, bawalah bayi itu kepadaku." Kemudian beliau menyolatkannya.
Berkatalah Umar: Apakah baginda menyolatkannya wahai Nabi Allah, padahal ia
telah berzina? Beliau menjawab: "Ia benar-benar telah bertaubat yang
sekiranya taubatnya dibagi antara tujuh puluh penduduk Madinah, niscaya cukup
buat mereka. Apakah engkau mendapatkan seseorang yang lebih utama daripada ia
menyerahkan dirinya karena Allah?". Riwayat Muslim.
2.
Rukun
Ikrar
a.
Yang mengaku,
disyaratkan keadaannya ahli tassaruf dan sekehendaknya (dengan kemuan sendiri);
b.
Yang diakui olehnya
(muqar lah), hendaklah keadaannya berhak memiliki sesuatu yang diakuinya;
c.
Hak yang diakui,
disyaratkan keadaan yang sebenarnya;
d.
Lafadh, syaratnya
hendaklah menunjukkan ketentuan hak yang diakui.
F.
Wakil
1.
Pengertian
wakil
Berwakil
ialah menyerahkan pekerjaan yang dikerjakan kepada yang lain, agar
dikerjakannya (wakil) semasa hidupnya (yang berwakil). Hukum berwakil ini
sunah, kadang-kadang menjadi wajib kalau terpaksa; haram kalau pekerjaan yang
diwakilkan itu pekerjaan yang haram, dan makruh kalau pekerjaan itu makruh.
Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Al Bukhari disebutkan:
Abu hurairah berkata,
“Nabi SAW telah mewakilkan kepada saya untuk memelihara zakat fitrah, dan
beliautelah memberi seekor kambing kepada Uqbah bin Amir agar dibagikan kepada
sahabat-sahabat beliau.”
2.
Rukun
berwakil:
a. Ada
yang berwakil dan wakil, (anak kecil dan orang
dewasa tidak sah berwakil dan tidak sah menjadi wakil).
b. Ada
pekerjaan yang diserahkan, syaratnya:
1) Pekerjaan itu boleh digantikan oleh
orang lain. Karena itu, tidak sah berwakil untuk mengerjakan ibadah;
2) Pekerjaan itu telah menjadi
kepunyaanyang berwakil saat sewaktu dia berwakil. Oleh karena itu, tidak sah berwakil
untuk menjual barang yang belum dimiliknya;
c. Lafadh,
keadaan lafadh hendaklah kalimat yang menunjukkan rida yangberwakil. Tidak
disyaratkan lafadh kabul(jawab) karena berwakil termasuk hukum memperbolehkan
sesuatu, seperti memperbolehkan memakan makanan kepada orang yang hendak
memakan makanan itu.
G.
Ariyah
1.
Pengertian
Ariyah
Ariyah
ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil
manfaatnya dengan tidak merusak dzatnya, agar dzat barang itu dapat
dikembalikan. Tiap-tiap yang mungkin diambil manfaatnya dengan tidak merusak
dzat barang itu, boleh dipinjam atau dipinjamkan. Definisi tersebut dikemukakan
oleh banyak ulama; Syaf’iyah.
Sedangkan
Ulama’ Hanabilah memberikan definisi ariyah sebagai berikut:
الإعارة
هي إباحة نفع العين بغير عوض من المستعير أو غيره
I’arah (Ariyah) adalah kebolehan memanfaatkan suatu barang tanpa
imabalan dari orang yang memberi pinjaman atau lainnya. 5
2.
Hukum
meminjamkan
Asal
hukum meminjamkan sesuatu itu sunat, sepeti tolong-menolong dengan yang lain.
Kadang-kadang menjadi wajib, seperti meminjamkan pisau untuk menyembilh
binatang yang hampir mati. Juga kadang-kadang haram, kalau yang dipinjam itu
akan dipergunakan untuk sesuatu yang haram.
3.
Rukun
meminjam
a.
Ada yang meminjamkan,
syaratnya yaitu:
1)
Ahli
(berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya. Anak kecil dan orang yang dipaksa,
tidak sah meminjamkan.
2)
Manfaat
barang yang dipinjam dimiliki oleh yang meminjamkan, sekalipun dengan jalan
wakaf atau menyewa, karena meminjam hanya bersangkutan dengan manfaat, bukan
bersangkutan dengan dzat.
b.
Ada yang meminjam, hendaklah
seorang yang ahli (berhak) menerima kebaikan. Anak kecil atau orang gila tidak
sah meminjam sesuatu barang.
5H.
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat,
(Jakarta: Amzah, 2010), hlm.467.
c.
Ada barang yang dipinjam,
syaratnya:
1)
Barang
yang benar-benar ada manfaatnya.
2)
Sewaktu
diambil manfaatnya, dzatnya tetap atau tidak rusak. Oleh karena itu, makanan
dengan sifat makanan untuk dimakan, tidak sah dipinjamkan.
d.
Ada lafadh, menurut
sebagian orang, sah dengan tidak berlafadh.
4.
Mengambil
manfaat barang yang dipinjam
Yang
meminjam boleh mengambil manfaat dari barang yang dipinjamnya hanya sekedar
menurut izin dari yang punya, atau kurang dari yang diizinkan.
5.
Hilangnya
barang yang dipinjam
Kalau
barang yang dipinjam itu hilang atau rusak karena pemakaian yang diizinkan,
yang meminjam tidak perlu mengganti karena pinjam-meminjam itu berarti
percaya-mempercayai. Tetapi kalau karena sebab yang lain, dia wajib mengganti.
6.
Mengembalikan
yang dipinjam
Kalau
mengembalikan barang yang dipinjam tadi memerlukan ongkos, maka ongkos tersebut
hendaklah dipikul oleh yang meminjam. Pada tiap-tiap waktu, yang meminjam dan
yang meminjamkan tidak berhalangan bila ingin mengembalikan atau meminta
kembali pinjaman, sebab ariyah adalah
akad yang tidak tetap. Akad ariyah pun putus karena salah seorang dari yang
meminjam atau yang meminjamkan mati, begitu juga karena gila. Maka apabila yang
meminjam mati, ahli warisnya wajib mengembalikan barang pinjaman.
H.
Hibah, Sedekah, Hadiah
1.
Pengertian
Secara bahasa kata hibah
berasal dari kata وهبyang berarti
lewat dari satu tangan ke tangan yang lain atau dengan arti lain kesadaran.
Kata hibah mempunyai maksud memberikan kepada orang lain baik berupa harta
ataupun bukan. Secara terminologi (syara’) jumhur ulama’ mendefinisikan
hibah: “Akad yang mengakibatkan pemilikan harta tanpa ganti rugi yang dilakukan
oleh seseorang dalam keadaan hidup kepada orang lain secara sukarela.”
Dari definisi diatas dapat diambil pengertian bahwa hibah merupakan
pemberian harta kepada orang lain dimana orang yang diberi bebas menggunakan
harta tersebut. Artinya, harta menjadi hak milik orang yang diberi. Jika orang
yang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak
sebagai hak milik maka itu disebut pinjaman. Jika pemberian itu disertai dengan
imbalan maka seperti itu namanya jual beli. Dengan kata lain, hibah merupakan pemberian barang dengan
tidak ada tukarannya dan tidak ada sebabnya. Sedangkan Sedekah adalah memberikan
barang dengan tidak ada tukarannya karena mengharapkan pahala di akhirat. Kalau
hadiah adalah memberikan barang dengan tidak ada tukarannya serta dibawa
ketempat yang diberi karena hendak memuliakannya.6
6
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo,2009), hlm. 326-327.
2.
Rukun dan Syarat hibah,
sedekah, hadiah
a.
Ada yang memberi, syaratnya ialah orang yang berhak memperedarkan hartanya dan
memiliki barang yang diberikan;
b. Ada yang diberi, syaratnya yaitu berhak
memiliki. Tidak sah memberi kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya dan
pada binatang, karena keduanya tidak dapat memiliki.
c.
Lafadh, ucapan niat untuk memberikan sesuatu kepada orang lain;
d.
Ada barang yang diberikan, syaratnya hendaklah barang itu dapat dijual, kecuali:
1)
Barang-barang yang kecil, misalnya dua atau tiga butir biji beras.
Tidak sah dijual, tetapi sah diberikan.
2)
Barang yang tidak diketahui tidaklah sah dijual, tetapi sah
diberikan.
3)
Kulit bangkai sebelum disamak tidaklah sah dijual, tetapi sah
diberikan.
I.
Wadi’ah (petaruh)
1.
Pengertian
Wadi’ah berasal dari kata wada’a, yang sinonimnya taraka, artinya meninggalkan. Sesuatu yang ditiipkan seseorang kepada orang lain
untuk dijaga disebut wadi’ah, karena suatu barang tersebut ditinggalkan disisi
orang yang dititipi.7 Firman
Allah SWT:
¨bÎ)
©!$#
öNä.ããBù't
br&
(#rxsè?
ÏM»uZ»tBF{$#
#n<Î)
$ygÎ=÷dr&
. . . .
Artinya: ”Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya....” (An Nisa’: 58)
Disamping
dalam Al Qur’an, dasar hukum wadi’ah juga terdapat dalam sebuah hadits Nabi:
عن أبى هريرة رضي
الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : أد الأمانة إلى من ائتمنك ولا
تخن من خانك (رواه
الترمذى و ابو دود)
Artinya:
“ Dari Abu Hurairah ra ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Tunaikanlah amanah
kepada orang yang mempercayakan (menitipkan) kepadamu dan janganlah engkau
berkhianat kepada orang yang menghianatimu. (HR. At Tirmidzi dan Abu Dawud)
2.
Hukum menerima wadi’ah
a. Sunat, bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia
sanggup menjaga petaruh yang diserahkan kepadanya. Hukum sunat ini apabila ada
orang lain yang dapat dipetaruhi, tetapi kalau tidak ada orang lain hanya dia
sendiri, ketika itu ia wajib menerima petaruh yang dititipkan kepadanya.
b. Haram, apabila dia tidak kuasa atau tidak sanggup
menjaganya sebagaimana mestinya.
c. Makruh, bagi orang yang dapat menjaganya, tetapi ia tidak
percaya kepada dirinya.
7
H. Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm.455.
3.
Rukun wadi’ah
a. Ada barang yang dipetaruhkan, syaratnya merupakan milik yang sah.
b. Ada yang berpetaruh dan yang menerima
petaruh.
c. Lafadh.
Akad petaruh adalah akad percaya mempercayai, oleh
karena itu yang menerima petaruh tidak perlu menggantinya apabila barang yang
dipetaruhkan hilang atau rusak. Kecuali apabila rusak karena ia lalai atau
kurang penjagaan, berarti tidak dijaga sebagaimana mestinya.
4.
Peringatan
Apabila seseorang yang menyimpan petaruh sudah
begitu lama sehingga ia tidak tahu lagi dimana atau siapa pemiliknya dan dia
sudah pula berusaha mencari dengan secukupnya, namun tidak juga didapatnya
keterangan yang jelas, maka barang itu boleh dipergunakan untuk kepentingan
umat islam dengan mendahulukan yang lebih penting dari yang penting.
J.
Luqathah
1.
Pengertian
Luqathah
secara bahasa artinya sesuatu yang ditemukan tanpa mencari. Sedangkan menurut
terminologi syara’ luqathah memiliki beberapa definisi. Penulis kitab Al-Minhaj
mendefinisikan luqathah sebagai: “Harta yang hilang dari pemiliknya baik karena
jatuh, lupa, dan semisalnya. SyaikhUmairah memberikan definisi yang lain
lagi: “secara syar’i luqathah adalah sesuatu yang ditemukan berupa harta atau
hak pribadi yang hilang dan bukan milik kafir harbi dan tidak dijaga. Ulama’
lain mengatakan bahwa luqathah ialah barang-barang yang didapat dari tempat
yang tidak dimiliki seorang pun.
2.
Hukum mengambil barang temuan
a.
Sunat, bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa ia sanggup mengerjakan
segala yang bersangkutan dengan pemeliharaan barang itu sebagaimana mestinya.
b.
Wajib, apabila berat sangkaannya bahwa barang itu akan hilang dengan sia-sia
kalau tidak diambilnya.
c.
Makruh, bagi orang yang tidak percaya kepada dirinya, boleh jadi ia akan
berkhianat terhadap barang itu di kemudian hari.
3.
Rukun Luqathah
a.
Ada yang mengambil.
b.
Bukti barang temuan, sesuatu yang ditemukan ada empat macam:
1)
Barang yang dapat disimpan lama
(seperti: emas dan perak) hendaklah disimpan ditempat yang sesuai dengan
keadaan barang iru, kemudian diberitahukan kepada umum ditempat-tempat yang
ramai dalam masa satu tahun. Hendaklah pula dikenal beberapa sifat barang yang
ditemukannya itu, umpamanya tempat, tutup, ikat, timbangan, atau bilangannya.
Sewaktu diterangkan jangan semua sifat disebutkan, agar tidak terambil oleh
orang-orang yang tidak berhak.
2)
Barang yang tidak tahan disimpan lama, seperti makanan. Orang yang
mengambil barang seperti ini boleh memilih antara mempergunakan barang itu,
asal dia sanggup menggantinya apabila ia bertemu dengan yang punya barang. Atau
ia jual, uangnya hendaklah ia simpan agar kelak dapat diberikannya kepada
pemiliknya apabila bertemu.
3)
Barang yang dapat tahan lama dengan usaha, seperti susu dapat
disimpan lama apabila dibuat keju. Yang mengambil hendaklah memperhatikan yang
lebih berfaedah bagi pemiliknya (dijual ataukah dibuat keju).
4)
Sesuatu yang membutuhkan nafkah, yaitu binatang atau manusia,
misalnya anak kecil. Sedangkan binatang ada dua macam, pertama: binatang yang kuat dan dapat menjaga dirinya sendiri dari
binatang buas lebih bauk biarkan saja tidak usah diambil. Kedua, binatang yang lemah dan tidak dapat menjaga dirinya sendiri
dari binatang buas, hendaklah diambil. Kemudian diharuskan melakukan salah satu
dari tiga cara berikut:
a)
Disembelih lalu dimakan, dengan syarat sanggup membayar harganya
apabila bertemu dengan pemiliknya;
b)
Dijual, uangnya disimpan agar dapat diberikan kepada pemiliknya;
c)
Dipelihara dan diberi makan dengan maksud menolong semata-mata.
Adapun
kalau yang ditemukan adalah manusia, misalnya anak kecil atau orang bodoh, maka
wajib kifayah atas muslimin mengambil dan menjaganya, begitu juga mendidiknya,
dan wajib dititipkan kepada orang yang dipercayai dan bersifat adil. Untuk
biaya hidup, diambilkan dari harta bawaan kalau punya, kalau tidak diambilkan
dari baitul mal jika baitul mal teratur. Kalau tidak atas tanggungan umat islam
yang mampu.
K.
Ihya’ al-Mawat
1.
Pengertian dan dasar hukum
Secara etimologi kata ihya’ artinya menjadikan sesuatu
menjadi hidup, dan al-mawat ialah sesuatu yang tidak bernyawa, dalam
konteks ini ialah tanah yang tidak dimiliki seseorang dan belum digarap.
Sedangkan secara terminologi, Asy-Syarbaini al-Khatib mendefinisikan ihya’
al-mawat adalah menghidupkan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada
yang memanfaatkannya seorang pun. Ihya’ al-mawat bertujuan agar lahan-lahan
yang gersang menjadi tertanami, yang tidak produktif menjadi produktif, baik
sebagai lahan pertanian, perkebunan, maupun bangunan.
Mengenai hukumnya, para ulama berpendapat bahwa hukum Ihya’
al-mawat adalah mubah, bahkan ada yang mengatakan sunah. Hal ini didasari oleh
beberapa hadits Rasulullah. Diantaranya adalah sabda Rasul dalam Haditsnya
sebagai berikut:
من احيا ارضا ميتة فهي له (رواه ابو داود والترمذى)
“barang siapa yang membuka tanah yang kosong, maka tanah itu
menjadi miliknya.” (HR. Ahmad dan Imam at-Tirmidzi)
Hadits-hadits Rasulullah tersebut memotivasi umat islam untuk
menjadikan lahan kosong menjadi lahan produktif, sehingga karunia yang
diturunkan oleh Allah SWT dapat dimanfaatkan semakasimal mungkin untuk
kepentingan dan kemashlahatan umat manusia.
2.
Cara dan Syarat-syarat Ihya’ al-Mawat
Cara membuka tanah terserah menurut kebiasaan ditempat
masing-masing, begitu pula menurut guna tanah yang dituju. Tanah yang akan
dijadikan kebun berbeda cara membukanya dengan tanah yang akan dibuat sawah
atau perumahan.
Apabila seseorang telah mulai bekerja menandai tanah yang
dimaksudnya, maka dia lebih berhak pada tanah itu dengan dua syarat:
a.
Tanah yang ditandainya itu hanya sekedar cukup untuk keperluanya.
Kalau lebih, orang lain boleh mengambil yang lebih itu.
b.
Sanggup dan cukup memiliki alat untuk meneruskannya, bukan
semata-mata untuk menandai tanah saja.
L.
Syuf’ah
1.
Pengertian Syuf’ah
Misalnya, si A berserikat rumah dengan B, kemudian si B menjual
bagianya kepada C tanpa seizin A. Maka A berhak mengambil sebagian rumah yang
sudah dijual oleh B kepada C tadi dengan paksaan, sekalipun cara itu tidak
disukai C. Hanya harus diambil menurut harga penjualan B kepada C. Inilah yang
dinamakan Syuf’ah. Jadi, Syuf’ah
ialah hak yang diambil dengan paksa oleh serikat lama dari serikat baru. 8
2.
Rukun syuf’ah
a.
Barang yang diambil (sebagian yang sudah dijual), syaratnya keadaan barang yang tidak
bergerak. Adapun barang yang bergerak, berarti dapat dipindahkan, padanya tidak
berlaku syuf’ah. Karena syuf’ah disyari’atkan guna menghindarkan
keberatan-keberatan dari pihak tetangga yang baru dan menghilangkan
keberatan-keberatan kalau barang itu dibagi.
b.
Orang yang mengambil barang (serikat lama), syaratnya, orang tersebut berserikat pada zat yang
diambil dan memiliki bagianya.
c.
Orang yang dipaksa (serikat baru), syaratnya, keadaan barang itu dimilikinya dengan
jalan bertukar, bukan dengan jalan pusaka, wasiat, atau pemberian.
M.
Khasbu
1.
Pengertian Khasbu
Khasbu ialah mengambil hak orang lain dengan cara paksa dan aniaya.
Hukum merampas adalah haram. Firman Allah SWT:
wur
(#þqè=ä.ù's?
Nä3s9ºuqøBr&
Nä3oY÷t/
È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
. . . . . . ÇÊÑÑÈ
Artinya: “ Dan janganlah
sebagian kamu memakan harta sebagian sebagian yang lain diantara kamu dengan
jalan yang bathil.”
Sabda Rasulullah SAW:
عن انس قال النبى صلى الله عليه و سلم لا يحل مال امرئ مسلم الا بطيب
نفسه (رواه الدرقطني) .
Artinya: Nabi SAW telah bersabda: “ Tidak halal harta seorang muslim, kecuali dengan baik hatinya
(berarti dengan sukarela)”.
2.
Kewajiban Perampas
Orang
yang merampas itu wajib mengembalikan barang rampasaanya dan mengganti
kerusakan atau kekurangannya. Begitu juga perongosannya (sewanya). Jika barang
yang dirampas hilang dari tangan orang yang merampas, dia wajib mengganti
dengan harganya atau dengan sesuatu yang serupa dengan barang yang hilang.
3.
Membela Diri Terhadap Yang Menganiaya
Membela diri terhadap orang yang menganiaya itu boleh (jaiz),
meskipun sampai membunuh, kalau kita tidak terhindar dari kezalimannya kecuali
dengan melakukan pembunuhan kepadanya.
8 H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,2009), hlm. 336-337.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Kitabul muamalat merupakan salah satu bab dalam hukum fiqh yang
membahas tentang suatu urusan yang terkait dengan pemberian, tukar-menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat
dengan cara yang ditentukan, seperti jual-beli, hibah, wadi’ah, luqathah, dan
usaha lainnya. Yang semuanya sudah diatur menurut syari’at islam yang berdasar
atas Al Qur’an, Hadits, serta sumber hukum islam lain, guna memberikan
kebaikan, kemanfaatan, dan kemudahan bagi umat islam dalam menjalankan usaha
pada kehidupan sehari-harinya.
B.
Penutup
Demikian makalah yang dapat kami buat, semoga bermanfaat untuk
pembaca dan pemakalah sendiri. Kami selalu mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi menjadikan makalah kami lebih baik untuk yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Lajnah Bahtsul Masa’il Madrasah Hidayatul Mubtadi’in Pondok
Pesantren Lirboyo Kediri. Uyunul masa’il
Linnisa’. Jawa Timur: 2008.
Muslich,
Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat, Jakarta: Amzah,
2010.
sukron
BalasHapus