Pages

Minggu, 21 Juli 2013

kedudukan akhlaq tasawuf dalam ajaran islam


KEDUDUKAN AKHLAK DALAM AJARAN ISLAM

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Akhlak
Dosen pengampu: Rosidi, M.S.I.



Disusun Oleh   :
Kelompok 1
1.Lailatul Fatchiyyah                        (123911214)
2.Mustofina                          (123911220)
3.Najih Marzuki                    (123911221)
4.Nur Khanif                                    (123911222)
5.Seksi Sumiyati                   (123911281)
6.Suprapti                             (123911291)

PROGRAM  DUAL  MODE  SISTEM  (S1)
IAIN WALISONGO SEMARANG
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kajian tentang akhlak (etika) di kalangan umat islam pada masa permulaan islam hanya terbatas pada upaya memahami akhlak dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selanjutnya, kajian aklak ini berkembang lebih luas seiring perkembangan zaman, terutama setelah era penerjemahan literatur filsafat Yunani, bermunculan tokoh-tokoh yang berkonsentrasi mengkaji khasanah klasik Yunani termasuk teori-teori mereka mengenai akhlak dan berbagai corak pemikiran.
Usaha dan kontribusi yang dicurahkan para filsuf yang berkecimpung dalam filsafat akhlak dan berbagai corak pemikiran ini bukan sekedar taklid pada pendahulu mereka dari kalangna filsuf Yunani, akan tetapi mereka melakukan pembaharuan dalam cara berfikir. Hal ini tampak jelas jika kita mendalami karya-karya mereka, terutama dalam Kitab Tahdzib Al-Akhlaq wa Tathhir al-Araq karya Ibnu Maskawih.
Disamping kecenderungan ini, muncul pula beragam kajian dalam bidang akhlak dan kalangan kaum sufi muslim yang berpangku pada upaya penggalian inspirasi dari cahaya wahyu. Adapun yang paling populer dalam wacana ini adalah konstribusi Imam Al-Ghazali, terutama dalam kitab  Ihya Ulumuddin. [1]
Dengan demikian, kita sebagai seorang muslim diharapkan mempunyai akhlakul karimah, dengan cara mempelajarai berbagai macam ilmu tentang akhlak.
B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini terdapat beberapa rumusan permasalahan, antara lain:
1.      Bagaimanakah pemahaman tentang akhlak?
2.      Apa saja jenis-jenis akhlak?
3.      Bagaimana akhlak terhadap lingkungan?
4.      Apa urgensi akhlak di zaman modern?
5.      Bagaimana akhlak dalam kehidupan keluarga?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pemahaman Tentang Akhlak
Akhlak  (اخلاق) berasal dari kata tunggal khuluq. Kata khuluq adalah lawan dari kata khalq. Khalq dilihat dengan mata lahir (bashar) sedangkan khuluq dilihat dengan mata batin (bashirah). Keduamya berasal dari akar kata yang sama yaitu khalaqa. Keduanya berarti penciptaan, karena memang keduanya telah tercipta melalui proses. Khuluq atau akhlaq adalah sesuatu yang telah tercipta atau terbentuk melalui sebuah proses. Karena sudah terbentuk, akhlak disebut juga kebiasaan. Kebiaasaan adalah tindakan yang tidak lagi banyak memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Kebiasaan  adalah sebuah perbuatan yang muncul dengan mudah. Ibnu Maskawih mendefinisikan akhlak sebagai berikut:
الخلق حال للنفسي داعية لها إلى أفعالها من غير فكر ولا رويّة
“akhlak adalah kondisi jiwa yang mendorong melakukan perbuatan dengan tanpa butuh pikiran dan pertimbangan”
Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya Ihya’ ‘Ulumuddin mendefinisikan akhlak sebagai beirikut:
فالخلق عبارةعن هيئة فى النفس راسخة عنها تصدرالأفعال بسهولة ويسرمن غير حاجة إلى فكر ورويّة
“akhlak merupakan ungkapan-ungkapan tentang keadaan yang melekat pada jiwa dan darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan” [2]
Dari definisi di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa akhlak adalah kehendak dan tindakan yang sudah menyatu dengan pribadi seseorang dalam kehidupannya, sehingga  dua hal tersebut sulit untuk dipisahkan.
Proses pemahaman tentang akhlak berupa pengetahuan dan informasi tentang betapa pentingnya akhlak mulia dan betapa besarnya kerusakan yang akan ditimbulkan akibat akhlak yang tercela. Pemahaman berfungsi memberikan landasan logis teoritis mengapa seseorang harus berakhlak mulia dan harus menghindari akhlak tercela. Dengan pemahaman, seseorang akan menjadi lebih terarah dalam berperilaku sesuai dengan sumber yang dipakai, baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah ataupun pernyataan-pernyataan etis dari orang lain.
Selain pemahaman kita juga perlu mengetahui kedudukan akhlak, yang terdiri dari tiga macam sendi islam yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Ketiga macam sendi islam tersebut mencakup:
1.      Masalah aqidah (iman)
Dalam hal ini meliputi enam rukun iman, dengan kewajiban beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Kiamat, serta Qadha’ dan Qadar.
2.      Masalah syari’ah (islam)
Masalah ini meliputi pengabdian kepada Allah yang dapat dilihat dalam rukun islam yang lima. Muamalah juga merupakan masalah syari’ah yang meliputi pernikahan, pewarisan, perekonomian, perlindungan HAM, dan lain sebagainya.
3.      Masalah ihsan 
Masalah ihsan meliputi hubungan baik terhadap  Allah, terhadap sesama manusia, serta terhadap semua makhluk yang ada di dunia ini.
Dari sinilah kita dapat mengetahui kedudukan akhlak yang meliputi tiga sendi di atas, dengan fungsi yang selalu mewarnai sikap dan perilaku manusia dalam memanifestasikan keimanan, ibadah, serta muamalahnya terhadap sesama manusia. Perlu ditegaskan bahwa akhlak mulia selalu melengkapi sendi keimanan untuk menuju pada kesempurnaan kepribadian manusia, sebagaimana keterangan hadits yang berbunyi:
قال رسولالله صلّى الله عليه وسلّم: اكمل المؤمنين ايمانا احسنهم خلقا ...
(رواه التّرمذى عن ابى هريرة)
“Rasulullah SAW bersabda: paling sempurna keimanan orang mukmin apabila  akhlakanya lebih baik…..”(HR. At-Tirmidzi, dari Abi Hurairah)
Imam Al-Ghazali menentukan suatu kriteria bagi seseorang yang dinilainya sudah mencapai ukuran akhlak terpuji sebagi berikut:
1.         الحكمة      (arif bijaksana), yaitu kemampuan jiwa yang dapat mengekang hawa nafsu setiap saat.
2.         العفّة          (menjaga kesucian diri), yaitu menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan dan menjauhkan dari hal-hal yang tidak mengandung kebaikan.
3.         الشّجاعة    (keberanian), yaitu sikap hidup yang selalu berani membela kebenaran agama dan Negara.
4.         العدالة       (Keadilan), yaitu sikap hidup yang selalu menempatkan sesuatu pada proporsi yang sebenarnya, baik sebagai pemimpin keluarga atau masyarakat.[3]

B.     Jenis-Jenis Akhlak
Ulama akhlak menyatakan bahwa akhlak yang baik merupakan sifat para nabi dan orang-orang shiddiq, sedangkan akhlak yang buruk merupakan sifat syaitan dan orang-orang yang tercela. Maka pada dasarnya akhlak dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
1.      Akhlak terpuji (al-akhlaaqul mahmuudah)
Yaitu perbuatan baik terhadap Allah, sesama manusia, dan makhluk-makhluk yang lain. Berikut ini contoh akhlak terpuji:
v  Berbakti kepada kedua orang tua          (برّالوالدين)
v  Menghormati tetanggga dan tamu            (اكرام الجار والضّيف)
v  Berusaha menimbulkan rasa kasih sayang serta menarik simpati orang lain         (كسب الموالدة واستمالة قلو ب النّاس)
v  Memberikan sumbangan yang bersifat meringankan beban hidup orang-orang yang berhak menerimanya      (بذل الصّدقة لمن يستحقها)
v  Membantu memudahkan urusan sesama manusia bagi yang berkemampuan       (تسير امر عسير على اخ عند ذى سلطان)
2.      Akhlak tercela (al-akhlaaqul madzmuumah)
Yaitu, perbuatan buruk terhadap Allah, sesama manusia, dan makhluk-makhluk yang lain. Nerikut ini contoh-contoh akhlak tercela:
v  Berdusta (الكذب)
v  Mengumpat (الغيبة)
v  Mengadu domba (النّميمة)
v  Iri hati/dengki (الحسد)
v  Congkak (الأصغر) [4]
C.    Akhlak pada Lingkungan
1.      Al-Qur’an tentang Alam
Dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang menegasakan bahwa alam semesta diciptakan dan yamg menciptakannya adalah Allah. Sesuai dengan firman Allah dibawah ini:
ª!$# Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur tAtRr&ur šÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB ylt÷zr'sù ¾ÏmÎ/ z`ÏB ÏNºtyJ¨V9$# $]%øÍ öNä3©9 (
“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rizki untukmu” (QS. Ibrahim: 32)[5]
Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa langit dan bumi diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia, dan bukan untuk disia-siakan, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam ayat berikut:
óOs9r& (#÷rts? ¨br& ©!$# t¤y Nä3s9 $¨B Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# x÷t7ór&ur öNä3øn=tæ ¼çmyJyèÏR ZotÎg»sß ZpuZÏÛ$t/ur 3
“Tidaklah kamu lihat bahwa Allah menundukkan bagi kamu segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi dan melimpahkan padamu nikmat-Nya, baik yang tampak ataupun tidak tampak.” (QS. Luqman:20) [6]
2.      Manusia dan Kerusakan Alam
Sebuah ayat yang menunjukkan bahwa kerusakan alam akibat ulah manusia yaitu:
tygsß ßŠ$|¡xÿø9$# Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. Ï÷ƒr& Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ƒÉãÏ9 uÙ÷èt/ Ï%©!$# (#qè=ÏHxå öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_ötƒ ÇÍÊÈ  
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia sehingga akibatnya Allah menciptakan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka, agar mereka kembali.”(QS. Ar-Ruum: 41)[7]
Dalam Tafsir Al-Misbah, M Quraish Shihab menjelaskan bahwa terjadinya kerusakan merupakan akibat dari dosa dan pelanggaran yang dilakukan oleh manusia sehingga mengakibatkan gangguan keseimbangan itu, dan siksaan bagi manusia itu sendiri. Semakin banyak perusakan terhadap lingkungan, semakin besar pula dampak buruknya pada manusia.
3.      Manusia sebagai Khalifah
Alam ini diciptakan bukan tanpa tujuan, melainkan untuk kepentingan manusia. Karena diantara ciptaan Tuhan manusialah makhluk tertinggi, maka manusialah yang ditunjuk Tuhan sebagai khalifah atau penguasa di muka bumi ini. Mengenai ini Allah berfirman:
uqèdur Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3ŸÒ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uyŠ öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7­/u ßìƒÎŽ|  É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Öqàÿtós9 7LìÏm§ ÇÊÏÎÈ  
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al-An’am: 165) [8]
Maka perlu diketahui bagaimana konsensi Al-Qur’an tentang manusia sebagai khlaifah Tuhan yang harus memelihara serta membangun bumi dan tidak merusknya.
4.      Pengelolaan Alam dalam Perspektif Islam
Dalam AL-Qur’an banyak dikemukakan tentang alam yang dilanjutkan dengan anjuran untuk berfikir, memahami, mengingat, bersyukur, dan bertafakkur. Semua ini akan mengantarkan manusia pada sesuatu Yang Maha Mutlak yang menciptakan alam dengan keharmonisan hukum-hukum yang mengaturnya. Alam adalah tanda-tanda Allah, dalam artian bahwa alam mengabarkan akan keberadaan Allah sebagai pencipta alam.
Alam adalah manifestasi dari seluruh nama-nama dan sifat Allah. Misalnya, tumbuh-tumbuhan merefleksikan sifat-sifat Ilahi berupa pengetahuan karena tumbuh-tumbuhan “tahu” bagaimana menemukan makanan dan cahaya, buah-buahan memanifestasikan anugerah dan karunia Allah, dan hewan mencerminkan empat sifat Ilahi, yakni: kehidupan, pengetahuan, keinginan dan kekuasaan.
Karena alam adalah lokus manifestasi dari seluruh alam dan sifat-sifat Ilahi, maka merusak alam berarti merusak “wajah” atau tanda-tanda Tuhan di muka bumi. Manusia, terutama umat islam, harus memperlakukan dengan baik karena alam adalah tangga untuk merenungi tanda kekuasaan Allah. Renungan akan keindahan dan keharmonisan alam akan mengantarkan kaum muslimin menjadi orang-orang yang bertaqwa. Dalam Al-Qur’an Allah menyatakan bahwa alam diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, sebagaimana ayat berikut:
uqèdur Ï%©!$# t¤y tóst7ø9$# (#qè=à2ù'tGÏ9 çm÷ZÏB $VJóss9 $wƒÌsÛ (#qã_̍÷tGó¡n@ur çm÷YÏB ZpuŠù=Ïm $ygtRqÝ¡t6ù=s? ts?ur šù=àÿø9$# tÅz#uqtB ÏmŠÏù (#qäótFö7tFÏ9ur ÆÏB ¾Ï&Î#ôÒsù öNà6¯=yès9ur šcrãä3ô±s? ÇÊÍÈ  
“Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 14)[9]
Ayat inilah yang menjadi landasan teologis pembenaran pengelolaan dan pemanfaaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia. Agama islam memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan alam dengan cara yang baik dan menjadi manusia yang bertanggung jawab dalam melindungi alam dan lingkungannya serta larangan merusaknya.
Menurut Quraish Shihab, etika pengeleloaan lingkungaan dalam islam adalah mencari keselarasan dengan alam sehingga manusia tidak hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, tapi menjaga lingkungan dari kerusakan. Setiap perusakan lingkungan haruslah dillihat sebagai perusakan terhadap diri sendiri. Sikap ini berbeda dengan sikap sebagai teknokrat yang memandang alam sebagai alat untuk mencapai tujuan konsumtif.[10]
D.    Urgensi Akhlak di Zaman Modern
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dialami oleh manusia sekarang ini, tidak sedikit dampak negatifnya terhadap sikap dan perilaku, baik sebagai manusia yang beragama, maupun sebagai makhluk individual dan sosial.
Dampak negatif yang paling berbahaya terhadap kehidupan manusia atas kemajuan yang dialaminya ditandai dengan adanya kecenderungan menganggap bahwa satu-satunya yang dapat membahagiakan hidupnya adalah nilai materiil, sehingga manusia berlomba-lomba untuk mengejar materi tanpa menghiraukan nilai-nilai spiritual yang sebenarnya berfungsi untuk memelihara dan mengendalikan akhlak manusia.
Nabi SAW bersabda: "Tidaklah Aku diutus, kecuali untuk menyempurnakan Akhlakul Karimah."(HR.Bukhari)
Adapun peranan akhlak dalam kehidupan modern sekarang ini:
1)      Dengan akhlak kehidupan masyarakat menjadi makmur
Suatu masyarakat yang penduduknya berakhlak mereka akan berbuat sebaik-baiknya untuk diri dan masyarakatnya. Mereka akan bekerja dan berusaha untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat secara nyata. Orang yang berakhlak belum merasa senang dan gembira jika masyarakat belum mencapai kemakmuran, sebagimana digambarkan dalam sebuah ayat:
öNs9r& ts? y#øx. z>uŽŸÑ ª!$# WxsWtB ZpyJÎ=x. Zpt6ÍhŠsÛ ;otyft±x. Bpt7ÍhsÛ $ygè=ô¹r& ×MÎ/$rO $ygããösùur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ÇËÍÈ  

"Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit." (QS. Ibrahim:24)[11]
Maksudnya orang yang berakhlak bagaikan pohon rindang yang buahnya senantiasa memberi manfaat kepada manusia, lantaran orang-orang yang berakhlak itu tidak pernah berkata kecuali yang baik dan tidak pernah berbuat kecuali yang baik pula.
2)       Dengan akhlak menjadikan tindak kejahatan tidak akan terjadi didalam masyarakat
Tidak pernah kita jumpai dalam sejarah manapun hingga sekarang bahwa orang-orang yang berbuat jahat itu memiliki akhlak. Karena tidak ada satu pun ajaran akhlak yang mentolerir perbuatan jahat sekecil apapun. Jika sampai ada ajaran akhlak yang mengajarkan kita berbuat  jahat maka yang demikian itu adalah ajaran sesat dan menyesatkan yang harus diberantas sampai tuntas.
3)      Dengan Akhlak manusia akan menjadi luhur dan terhormat, baik di dunia maupun di akhirat
Di karenakan orang yang berakhlak senantiasa menghormati orang lain betapa pun rendahnya kedudukan orang tersebut, mereka senantiasa menjadi contoh yang baik dalam setiap menjalankan aktifitas kehidupannya. Maka pantaslah jika mereka senantiasa dihormati dan diteladani orang lain karena tidak ada dalam diri mereka sifat-sifat yang tercela. Sehingga masyarakat yang berakhlak dan memperoleh dua jaminan lahir dan batin, dunia dan akhirat.[12]
E.     Akhlak dalam Kehidupan Berkeluarga
Keluarga adalah jiwa masyarakat. Sejahtera atau tidaknya suatu bangsa, kemajuan atau keterbelakangannya, pintar atau bodohnya adalah cerminan dari keadaan keluarga yang hidup pada masyarakat atau suatu bangsa. Hakikat tersebut adalah kesimpulan pandangan seluruh pakar dari berbagai disiplin ilmu, termasuk pakar-pakar agama Islam. Oleh sebab itu, Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pembinaan keluarga. Indikasinya bisa dilihat dari banyaknya ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang berbicara tentang hakikat tersebut. Allah SWT menganjurkan agar kehidupan keluarga menjadi bahan pemikiran setiap manusia sehingga darinya bisa ditarik pelajaran yang amat berharga. Menurut al-Qur’an, kehidupan keluarga, di samping menjadi salah satu tanda dari sekian banyak tanda-tanda kebesaran Ilahi, juga merupakan nikmat yang harus dapat dimanfaatkan serta disyukuri. Allah SWT berfirman:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ 
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Ar-Rum: 21)[13]
Dalam ayat tersebut jelas sekali bahwa tujuan dari pembentukan keluarga adalah terciptanya rasa aman, tentram, serta munculnya kasih sayang. Untuk mewujudkannya tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan, diperlukan sebuah pengaturan yang bisa dipahami dan disepakati oleh semua anggota keluarga serta dibutuhkan konsistensi dari semua anggota keluarga untuk menjalankan aturan yang diberlakukan sehingga lahirlah keluarga yang dibingkai dengan keteraturan dan keseimbangan seperti yang diharapkan ajaran islam.
Dalam sebuah keluarga hendaknya memperrhatikan aspek-aspek di bawah ini agar benar-benar menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Aspek-aspek tersebut antara lain:
1.            Tanggung jawab
Tanggung jawab idealnya harus ditunjang dengan kemampuan di berbagai bidang termasuk kemampuan leadership (kepemimpinan), dan disadari ataupun tidak, sikap bertanggung jawab ini akan menjadi contoh atau tauladan bagi anggota keluarga yang lain, karena sikap bertanggung jawab ini tidak hanya dibutuhkan oleh sang pemimpin tapi juga harus menjadi karakter setiap anggota keluarga, bahkan seluruh anggota masyarakat dan bangsa.


2.            Kerjasama
Kepemimpinan keluarga tentu tidak akan berdaya jika tidak ditunjang kerjasama dari seluruh anggota keluarga itu sendiri. Dengan demikian keharmonisan serta keteraturan dalam sebuah keluarga akan sukses jika didukung oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.
3.            Perhitungan dan keseimbangan
Perhitungan dan keseimbangan lahir dari rasa cinta terhadap anak dan tanggung jawab terhadap generasi selanjutnya. Dalam al-Qur’an anak disebut sebagai “buah hati yang menyejukkan”, serta “Hiasan kehidupan dunia”. Bagaimana mungkin mereka menjadi “buah hati” dan “hiasan hidup” jika beban yang dipikul orang tuanya melebihi kemampuannya? Bukankah kita dianjurkan untuk berdoa: “Ya Tuhan kami, janganlah bebani kami dengan apa yang tak sanggup kami pikul.”
4.            Disiplin
Dalam kehidupan berkeluarga, sikap kedisiplinan ini begitu penting. Untuk mendapatkan kesejahteraan, seorang kepala keluarga perlu memiliki sikap disiplin dalam mengatur waktu untuk bekerja, ibadah dan istirahat, demikian juga seorang anak, untuk menggapai cita-citanya dia harus rela mendisiplinkan diri dan waktunya untuk belajar, bermain, ibadah dan istirahat. Tanpa kedisiplinan, keteraturan hidup susah tercapai.
5.            Kasih sayang
Di antara perasaan-perasaan mulia yang ditanamkan Allah di dalam keluarga adalah perasaan kasih sayang. Seorang ayah rela bekerja keras mencari nafkah tentu karena kasih sayang terhadap anak dan istrinya, seorang ibu tanpa mengeluh dan tak kenal lelah mengandung anaknya selama sembilan bulan, inipun dilandasi cinta dan kasih sayang kepada sang jabang bayi, bahkan setelah sang anak lahir, dia pun rela mengorbankan diri dan waktunya untuk membesarkan anaknya tersebut, serta masih banyak lagi contoh keajaiban dari kekuatan besar yang dinamakan cinta yang merupakan anugrah dari Allah SWT. Sejatinya, kekuatan besar tersebut melandasi seluruh aspek kehidupan berkeluarga, karena dengan cinta sesuatu yang berat akan terasa mudah.[14]























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sebagai seorang muslim, kita harus berupaya semaksimal mungkin untuk memiliki akhlakul mahmudah dan berupaya dapat menjauhi akhlakul madzmumah. Jika kita ingin memiliki Negara yang baldatun thoyyibatun warobbun ghafur (Negara yang baik makmur dan senantiasa dalam ampunan-Nya) kuncinya adalah masyarakat bangsa tersebut harus berakhlak baik. Jika tidak kehancuran dan kehinaan akan meliputi masyarakat bangsa tersebut.

B.     Penutup
Demikianlah makalah tentang kedudukan akhlak dalam ajaran slam. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami mengharap kritik dan saran dari Bapak Dosen dan juga para pembaca yang budiman, agar makalah ini menjadi lebih baik lagi. Semoga maklah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.










DAFTAR PUSTAKA
Al-Kaisy Mrwan Ibrahim, 2007.  Yang Pantas Patut Bagi Seorang Muslim, Jakarta: Raja Grafindo.
Bisri, 2009. Akhlak, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag RI.
Hajjaj Muhammad Fauqi, 2011. Tasawuf Islam & Akhlak, Jakarta: Amzah.
Mahjuddin, 1991. Kuliah Akhlak Tasawuf, Jakarta: Kalam Mulia.
Nasirudin, 2009. Pendidikan Tasawuf, Semarang: Rasail Media Group.
Wahyuddin dkk, 2009,  Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Grasindo.
Mahmud Utsman, 1992, Terjemah Al-Qur’anul Karim, Jakarta: Depag RI.


[1] M. Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam & Akhlak, (Jakarta: Amza, 2011), hlm. 225.
[2] Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: RaSail, 2009), hlm. 31.

[3] Mahjuddin, Kuliah Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), hlm. 38.
[4] Mahjuddin, Kuliah Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), hlm. 9.
[5] Terjemah Al-Qur’anul Karim, hlm. 260.

[6] Terjemah Al-Qur’anul Karim, hlm. 414.
[7] Terjemah Al-Qur’anul Karim, hlm. 409.

[8] Terjemah Al-Qur’anul Karim, hlm. 151
[9] Terjemah Al-Qur’anul Karim, hlm. 269.
[10] Bisri, Akhlak, (Depag RI: Jakarta, 2009), hlm. 135
[11] Terjemah Al-Qur’anul Karim, hlm. 259.
[13] Terjemah Al-Qur’anul Karim, hlm. 407

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa komentar dan masukan anda dengan blog ini ?

Followers