KITAB
AL-SHALAT
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Fiqih
Dosen Pengampu : H. Amin Farih, M. Ag.
Disusun oleh :
1.
Mustofina (123911220)
2.
Najih Marzuki (123911221)
3.
Noor Qomariah (123911222)
PROGRAM DUAL
MODE SISTEM (S1)
IAIN WALISONGO SEMARANG
TAHUN 2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Shalat merupakan penghambaan dan kebutuhan diri
kepada Allah. Dari sini maka shalat dapat dijadikan media permohonan ataupun
pertolongan dalam menyingkirkan segala bentuk kesulitan yang ditemui manusia
dalam perjalanan hidupnya.
Selain shalat, dzikir juga mempunyai pengaruh kuat
terhadap diri seorang hamba. Dengan dzikir, maka manusia akan lebih mengingat
Tuhan atas segala apa yang telah di anugrahkan kepadanya.
Berikut ini makalah yang membahas tentang shalat,
dzikir dan disertai dengan macam-macam sujud yang seharusnya dipelajarai dan
diamalkan oleh setiap kaum muslimin.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud shalat fardhu, dan kapan waktunya?
2.
Apa syarat wajib dan syarat sahnya shalat, serta bagaimana penjelasan kiblat
ke ka’bah?
3.
Apa saja yang menjadi rukun shalat, sunah shalat, dan mubtilat al-shalat?
4.
Sujud dibagi menjadi berapa dan apa saja yang termasuk shalat jama’ qasar?
5.
Bagaimana penjelasan tentang shaalat jum’at dan zikir?
6.
Apa saja yang termasuk shalat sunah, dan kapan waktu yang dilarang shalat
serta bagaimanakah shalat khauf itu?
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Salat Fardhu dan
Waktunya
Shalat menurut arti bahasa adalah do’a, sedangkan
menurut terminologi syara’ adalah sekumpulan ucapan dan perbuatan yang diawali
dengan takbir, dan diakhiri dengan salam. Sedangkan yang dimaksud dengan shalat
fardhu adalah yang shalat yang wajib dikerjakan oleh umat muslim yang jumlahnya
ada lima waktu (shlat zhuhur, shalat ashar, shalat maghrib, salat isya’, dan
shalat subuh).
Waktu merupakan penyebab dhahir diwajibkannya shalat, sedangkan penyebab
hakikinya adalah perintah atau ketetapan dari Allah SWT. Shalat fardhu
mempunyai waktu pelaksanaan sendiri-sendiri, mulai dari shalat zhuhur hingga
subuh. Berikut ini penjelasan tentang waktu shalat fardhu:
سُئِلَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ وَقْتِ الصَّلَوَاتِ، فَقَالَ: وَقْتُ
صَلاَةِ الْفَجْرِ مَا لَمْ يَطْلُعْ قَرْنُ الشَّمْسِ الْأَوَّلِ، وَوَقْتُ
صَلاَةِ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ مَا لَمْ
يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ
وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ
الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ
اللَّيْلِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang waktu
shalat (yang lima), beliau pun menjawab, “Waktu shalat fajar adalah selama
belum terbit sisi matahari yang awal. Waktu shalat zhuhur apabila matahari
telah tergelincir dari perut (bagian tengah) langit selama belum datang waktu
Ashar. Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh
(tenggelam) sisinya yang awal. Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah
tenggelam selama belum jatuh syafaq1. Dan waktu shalat isya adalah sampai
tengah malam.” (HR. Muslim no. 1388)
a.
Subuh
Dari
terbit fajar shodiq sampai terbenanmya matahari.
b.
Dzuhur
Pada
saat matahari tergelincir dari pertengahan langit (pada saat panjang bayangan
kurang dari panjang benda)
c.
Ashar
Pada
saat panjang bayangan lebih dari panjang benda.
d.
Maghrib
Saat
tenggelamnya matahari hingga hilangnya syafaq (awan merah)
e.
Isya’
Mulai
hilangnya mega merah sampai terbit fajar
2. Syarat Wajib,
Sahnya Salat, dan Kiblat Ke Ka’bah
1) Syarat wajib
shalat
v Islam
v Berakal
v Suci dari haid dan nifas
v Sampainya dakwah
v Mampu melaksanakan
v Baligh
2) Syarat sahnya
shalat
v Suci dari dua hadats (hadats kecil dan hadats besar)
v Suci dari najis (badan, pakaian, tempat shalat)
v Menutup aurat
v Mengahdap kiblat
v Yakin sudah masuk waktu shalat
3) Kiblat ke ka’bah
Hal ini merujuk pada ketetapanAl-Qur’an, sunnah, dan
kesepakatan ulama (ijma’). Allah berfirman :
ôs%
3ttR
|==s)s?
y7Îgô_ur
Îû
Ïä!$yJ¡¡9$#
(
y7¨YuÏj9uqãYn=sù
\'s#ö7Ï%
$yg9|Êös?
4
ÉeAuqsù
y7ygô_ur
tôÜx©
ÏÉfó¡yJø9$#
ÏQ#tysø9$#
4
ß]øymur
$tB
óOçFZä.
(#q9uqsù
öNä3ydqã_ãr
¼çntôÜx©
3
¨bÎ)ur
tûïÏ%©!$#
(#qè?ré&
|=»tGÅ3ø9$#
tbqßJn=÷èus9
çm¯Rr&
,ysø9$#
`ÏB
öNÎgÎn/§
3
$tBur
ª!$#
@@Ïÿ»tóÎ/
$£Jtã
tbqè=yJ÷èt
ÇÊÍÍÈ
“Sungguh Kami (sering) melihat
mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat
yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja
kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui,
bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah:144)
Para ulama’ juga sepakat
bahwa menghadap ka’bah ketika mampu dan dalam keadaan aman adalah hal yang
harus dilakukan dan dijadikan sebagai sandaran sahnya shalat. Hal ini berlaku
jika posisinya dekat dengan ka’bah, dimana fisik ka’bah dapat dilihat.
Sedangkan jika jauh dari ka’bah, maka pendapat yang lebih unggul adalah
pendapat yang dikatakan oleh mayoritas ulama’ bahwa yang dituntut adalah
menghadap ke arah ka’bah bukan menghadap ke bentuk fisik ka’bah.
3. Rukun Shalat,
Sunah Shalat, dan Mubtilat Al-Shalat
1. Rukun Shalat
Kata arkan adalah
bentuk plural dari kata rukn, menurut arti bahasa berarti sisi yang
kuat. Sedangkan menurut terminologi rukn berarti sesuatu yang menjadi
bagian dari sesuatu yang lain dan keabsahannya tergantung pada sesuatu
tersebut. Rukun shalat dapat diringkas sebagai berikut:
a. Niat
b. Takbiratul ihram
c. Berdiri tegak jika mampu
d. Membaca surat Al-Fatikhah pada tiap-tiap raka’at
e. Ruku’ dengan tuma’ninah
f. I’tidal dengan tuma’ninah
g. Sujud dua kali dengan tuma’ninah
h. Duduk antara dua sujud dengan tuma’ninah
i.
Duduk tasyahud akhir dengan tuma’ninah
j.
Membaca tasyahud akhir
k. Membaca shalawat Nabi pada tasyahud akhir
l.
Membaca salam yang pertama
m. Tertib
2. Sunah Shalat
Shalat memiliki beberapa
kesunahan yang sebaiknya dipelihara dan diperhatikan oleh pelaku shalat, agar
shalatnya menjadi lebih sempurna dan berbuah pahala. Sunah-sunah tersebut
antara lain: mengangkat kedua tangan ketika takbiaratul ihram; meletakkan
tangan kanan diatas tangan kiri ketika bersedekap; memebca do’a iftitah;
memabaca ta’awudz; memebca amin; memebaca surat Al-Qur’an pada dua raka’at
pertama; mengeraskan bacaan fatihah dan surat pada rakaat pertama dan kedua;
membaca takbir ketika gerakan naik turun; membaca tasbih ketika ruku’ dan
sujud; membaca samia’llahuliman hamidah, dan rabbana lakual hamdu…; meletakkan
telapak tangan di atas paha ketika tasyahud awal dan akhir; duduk iftirasy;
duduk tawaru (bersimpuh) pada waktu tasyahud akhir; membca salam kedua;
memalingkan muka kekanan dan kekiri ketika salam.
3. Mubtilat
Al-Shalat
Shalat dinyatakan batal
apabila mushalli melakukan hal-hal yang mengeluarkan dari statusnya
sebagai ibadah yang menjadi media pendekatan diri kepada Allah SWT. Dibawah ini
beberapa hal yang membatalkan shalat antara lain:
1. Berbicara dengan sengaja serta mengetahui
keharamannya dan bukan untuk membenarkan kesalahan shalat
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ كُنَّا
نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ يُكَلِّمُ الرَّجُلُ صَاحِبَهُ وَهُوَ إِلَى جَنْبِهِ فِي
الصَّلَاةِ حَتَّى نَزَلَتْ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ
(وَنُهِينَا عَنْ الْكَلَامِ )
Dari Zaid bin Arqam, dia berkata: “Dahulu kami berbicara di dalam
shalat. Seseorang berbicara kepada kawannya yang ada di sampingnya di dalam
shalat, sehingga turun (ayat, Red): ‘Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu)
dengan khusyu' (Al Baqarah:238, Red). (Kemudian kami diperintahkan diam dan dilarang
berbicara).” [HR Bukhari, no. 1.200; Nasa’i (3/18); tambahan dalam kurung
riwayat Muslim, no. 539; Tirmidzi,no.4003;Abu-Dawud,-no.936].
2. Makan dan minum dengan sengaja
Ibnul
Mundzir t berkata: “Ulama (telah) sepakat, barangsiapa makan atau minum di
dalam shalat fardhu (wajib) dengan sengaja, dia wajib mengulangi (shalat).” (Al
Ijma’, 40). Demikian juga di dalam shalat tathawwu’ (sunah) menurut mayoritas
ulama, karena yang membatalkan (shalat) fardhu juga membatalkan (shalat)
tathawwu’.
3. Melakukan banyak gerakan yang jika dilihat orang
lain dari kejauhan maka akan timbul suatu keyakinan bahwa orang tersebut tidak
dalam keadaan shalat.
4. Pelaku shalat berpaling dari kiblat, meningglakan
salah satu rukunnya tanpa adanya udzur, mendahului imam satu rukun secara
sengaja dengan tidak membenarkan posisinya.
عَنْ خَالِدٍ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي وَفِي ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَةٌ قَدْرُ الدِّرْهَمِ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُعِيدَ الْوُضُوءَ وَالصَّلَاةَ
Dari Khalid, dari sebagian sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki sedang melakukan shalat, sedangkan pada luar telapak kakinya terdapat bagian kering seukuran uang dirham yang tidak terkena air (wudhu’), maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengulangi wudhu dan shalatnya. [HR Abu Dawud, no. 175; Ibnu Majah, no. 399; dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].
4. Sujud dan Shalat
Jama’ Qasar
1. Sujud dibagi menjadi tiga, yakni sujud tilawah,
sujud syukur, dan sujud sahwi. Dibawah ini merupakan keterangan dari
masing-masing sujud:
a.
Sujud Tilawah
Sujud tilawah adalah sujud yang dilakukan ketika seseorang membaca atau
mendengar ayat sajdah, disunahkan untuk bertakbir lalu bersujud satu kali,
kemudian bertakbir lagi untuk bangun dari sujudnya itu. Hukum melaksanakn sujud
tilawah adalah sunah. Didalam Al-Qur’an ada 15 tempat untuk sujud tilawah, di
antaranya: (Al-A’raf: 206, Ar-Ra’d: 15, An-Nahl: 49, Al-Isra’: 107, Maryam: 58,
Al-Haj: 18, Al-Haj: 77, Al-Furqan: 60, An-Nmal: 25, As-Sajdah: 15, Shad: 24,
Fushilat: 37, Al-Insyiqaq: 21, Al-Alaq: 19, An-Najm: 62).
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ أَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ اِعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِي يَقُوْلُ
يَا وَيْلَهُ أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُوْدِ فَسَجَدَ فَلَهُ اْلجَنَّةُ وَأُمِرْتُ
بِالسُّجُوْدِ فَعَصَيْتُ فَلِي النَّارُ. [رواه أحمد ومسلم وابن ماجه].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw
bersabda: Apabila seseorang membaca ayat sajdah lalu ia sujud, maka
menyingkirlah syaithan dengan menangis berkata: Sungguh celaka, manusia
diperintah sujud lalu ia sujud, maka baginya surga. Sedangkan aku diperintah sujud tetapi aku membangkang, maka bagiku
neraka.” [HR. Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah].
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ رُبَّمَا قَرَأَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ فَيَمُرُّ بِالسَّجْدَةِ فَيَسْجُدُ بِنَا حَتَّى ازْدَحَمْنَا
عِنْدَهُ حَتَّى مَا يَجِدُ أَحَدُنَا مَكَانًا لِيَسْجُدَ فِيْهِ فِي غَيْرِ صَلاَةٍ.
[رواه مسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra., ia berkata: Pernah Nabi saw
membaca al-Qur’an lalu bertemu dengan ayat sajdah, kami bersama-sama beliau
sujud, sehingga kami berdesak-desakan di sekitarnya, sehingga di antara kami
ada yang tidak mendapatkan tempat sujud. Hal
ini bukan di dalam shalat.” [HR. Muslim].
b. Sujud Syukur
Sujud syukur dilakukan
ketika seseorang mendapatkan nikmat atau terhindar dari sesuatu bahaya. Dalam
sujud syukur tidak terdapat sebuah hadits pun yang menjelaskan bahwa untuk
melakukannya disyaratkan berwudhu terlebih dahulu, suci pakaian atau tempat.
Demikianlah pendapat Imam Yahya dan Abu Thalib.
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا جَاءَهُ أَمْرَ يَسُرُّهُ
خَرَّ سَاجِدًا ِللهِ. [رواه الخمسة إلا النسائى].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Bakrah ra., bahwasanya Nabi saw apabila
datang sesuatu yang menggemberikan kepadanya ia tunduk dalam keadaan bersujud
kepada Allah.” [HR. lima Imam
Hadits kecuali an-Nasaa’i].
عَنْ اْلبَرَّاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ عَلِيًّا إِلَى الْيَمَنِ
- فَذَكَرَ الْحَدِيْثُ - قَالَ فَكَتَبَ عَلِيٌّ بِإِسْلاَمِهِمْ فَلَمَّا قَرَأَ
رَسُوْلُ اللهِ الْكِتَابَ خَرَّ سَاجِدًا شُكْرًا ِللهِ تَعَالَى عَلَى ذَلِكَ. [رواه البيهقي وأصله
في البخاري].
Artinya:
“Diriwayatkan dari Al-Baraa’ bin ‘Azib ra., bahwasanya Nabi saw telah mengutus
Ali ke Yaman, - maka tersebut dalam hadits, - ia berkata: Maka Ali menulis
surat (kepada Nabi saw) yang memberitakan tentang masuk Islamnya penduduk
Yaman. Maka tatkala Rasulullah saw membaca surat itu, beliau tersungkur dalam
keadaan sujud sebagai tanda syukur kepada Allah atas peristiwa itu.” [HR.
al-Baihaqi dan asalnya dari al-Bukhari].
c. Sujud Sahwi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
إذَا نُودِىَ بِالأَذَانِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ
حَتَّى لاَ يَسْمَعَ الأَذَانَ فَإِذَا قُضِىَ الأَذَانُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ
بِهَا أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِىَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ يَخْطُرُ بَيْنَ الْمَرْءِ
وَنَفْسِهِ يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا اذْكُرْ كَذَا. لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ
حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ إِنْ يَدْرِى كَمْ صَلَّى فَإِذَا لَمْ يَدْرِ
أَحَدُكُمْ كَمْ صَلَّى فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ
Artinya : “Apabila adzan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil
kentut hingga dia tidak mendengar adzan tersebut. Apabila adzan selesai
dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila dikumandangkan iqomah, setan pun
berpaling lagi. Apabila iqamah selesai dikumandangkan, setan pun kembali, ia
akan melintas di antara seseorang dan nafsunya. Dia berkata, “Ingatlah
demikian, ingatlah demikian untuk sesuatu yang sebelumnya dia tidak
mengingatnya, hingga laki-laki tersebut senantiasa tidak mengetahui berapa
rakaat dia shalat. Apabila salah seorang dari kalian tidak mengetahui berapa
rakaat dia shalat, hendaklah dia bersujud dua kali dalam keadaan duduk.” (HR. Bukhari no. 1231 dan Muslim no. 389)
Sujud sahwi dilakukan
ketika seseorang lupa didalam shalat. Sujud sahwi diperintahkan dalam
keadaan-keadaan berikut:
v Apabila melakukan salam sebelum sempurna shalatnya
v Apabila kelebihan raka’at dalam shalat
v Lupa dalam tasyahud awal atau lupa mengerjakan salah
satu sunah-sunah shalat
v Di waktu ragu-ragu dalam shalat
2. Shalat Jama’ Qashar
a. Shalat qashar
Rasulullah SAW bersabda:
من حديث عائشة: [فرضت الصلاة ركعتين ركعتين، فأقرت صلاة السفر،
وزيد
في صلاة الحضر] أخرجه الشيخان في الصحيحين
Dari 'Aisyah ra berkata :
"Awal diwajibkan shalat adalah dua rakaat, kemudian ditetapkan bagi shalat
safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) bagi shalat hadhar (tidak
safar)"(Muttafaqun 'alaihi)
Bagi orang yang dalam perjalanan, dibolehkan menyingkat shalat wajib yang
empat raka’at menjadi dua raka’at dengan syarat sebgai berikut:
v
Jarak temuh perjalanan 16 farsah atau 138 km, sedangkan menurut Abd.
Rahman Al-Jazairi dalam Kitab Fiqih ‘Ala Madzahibil arba’ah, dinyatakan
16 farsah = 81 km
Rasulullah SAW bersabda:
- Artinya: Dari Yahya bin Yazid al-Hana'i berkata,
saya bertanya pada Anas bin Malik tentang jarak shalat Qashar ? "Anas
menjawab:" Adalah Rasulullah SAW jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3
farsakh beliau shalat dua rakaat" (HR Muslim)
- Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah SAW
bersabda:" Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqashar shalat kurang
dari 4 burd dari Mekah ke Asfaan" (HR at-Tabrani, ad-Daruqutni, hadis
mauquf)
- "Dari Ibnu Syaibah dari arah yang lain
berkata:" Qashar shalat dalam jarak perjalanan sehari semalam"
- "Adalah Ibnu Umar ra dan Ibnu Abbas ra
mengqashar shalat dan buka puasa pada perjalanan menepun jarak 4 burd yaitu 16
farsakh".
v
Bepergian bukan untuk maksiat
v
Yang boleh di qashar hanya shalat yang empat raka’at
v
Niat mengqashar pada waktu takbaratul ihram
v
Tidak makmum pada orang yang musafir
b. Shalat Jama’
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ إِذَا زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ
يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ
تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعَصْرِ وَفِي
الْمَغْرِبِ مِثْلُ ذَلِكَ إِنْ غَابَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ
بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ
أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعِشَاءِ ثُمَّ جَمَعَ بَيْنَهُمَا
Artinya: Dari Muadz bin
Jabal:"Bahwa Rasulullah SAW pada saat perang Tabuk, jika matahari telah
condong dan belum berangkat maka menjama' shalat antara Dluhur dan Ashar. Dan
jika sudah dalam perjalanan sebelum matahari condong, maka mengakhirkan shalat
Dluhur sampai berhenti untuk shalat Ashar. Dan pada waktu shalat Maghrib sama
juga, jika matahari telah tenggelam sebelum berangkat maka menjama' antara
Maghrib dan 'Isya. Tetapi jika sudah berangkat sebelum matahari matahari
tenggelam maka mengakhirkan waktu shalat Maghrib sampai berhenti untuk shalat
Isya, kemudian menjama' keduanya" (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Shalat jama’ ialah shalat yang dikumpulkan didalam satu waktu, misalnya dzuhur dengan ashar; maghrib dengan
isya’.
Cara melaksanakan shalat jama’ ada dua macam:
v
Shalat jama’ taqdim
Jika shalat dzuhur dengan ashar dikerjakan pada waktu dhuhur; atau
maghrib dengan isya’ dikerjakan waktu maghrib, dengan syarat: dikerjakan dengan
tertib, niat jama’ taqdim dilakukan pada waktu awal shalat, berurutan antara
keduanya; yakni tidak boleh disela dengan shalat sunah ataupun perbuatan yang
lainnya.
v
Shalat jama’ ta’khir
Jika shalat dzuhur dan ashar dilakukan pada waktu ashar; atau maghrib dan
isya’ dikerjakan waktu isya’, dengan syarat: niat jama’ ta’khir dilakukan pada
shalt yang pertama;
5. Shalat Jum’at dan
Zikir
a. Shalat Jum’at
1. Sejarah Shalat Jum’at
Permulaan sejarah shalat Jum'at
pertama kali adalah ketika muncul perintah dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad,
ketika beliau masih berada di kota Mekkah dan sedang dalam persiapan untuk
melakukan hijrah atau perjalanan ke kota Madinnah.Dinukil dari Fiqih Islami wa
Adillatuhu, disebutkan bahwa shalat Jum'ah sudah
diwajibkan ketika Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam berada di Makkah, sebelum terjadi Hijrah. Seperti yang diriwayatkan oleh Daruquthni dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anh: “Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam diizinkan untuk melaksanakan Shalat Jum'at sebelum melaksanakan Hijrah. Akan tetapi, kaum Muslimin tidak bisa berkumpul di Makkah, maka Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam menulis surat kepada Mush'ab bin Umair yang berada di Madinah: 'Amma ba'du, perhatikanlah pada hari ketika orang-orang Yahudi mengumumkan untuk membaca kitab Zabur di hari Sabath-nya! Kumpulkanlah wanita-wanita dan anak-anak kalian! Jika siang telah condong separuhnya, di tengah siang hari Jum'at, mendekatlah kepada Allah dengan dua raka'at.
diwajibkan ketika Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam berada di Makkah, sebelum terjadi Hijrah. Seperti yang diriwayatkan oleh Daruquthni dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anh: “Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam diizinkan untuk melaksanakan Shalat Jum'at sebelum melaksanakan Hijrah. Akan tetapi, kaum Muslimin tidak bisa berkumpul di Makkah, maka Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam menulis surat kepada Mush'ab bin Umair yang berada di Madinah: 'Amma ba'du, perhatikanlah pada hari ketika orang-orang Yahudi mengumumkan untuk membaca kitab Zabur di hari Sabath-nya! Kumpulkanlah wanita-wanita dan anak-anak kalian! Jika siang telah condong separuhnya, di tengah siang hari Jum'at, mendekatlah kepada Allah dengan dua raka'at.
Pada masa itu masih terjadi
sengketa dengan kaum Quraisy (yang belum mengakui bahwa Nabi Muhammad adalah
Rosulullah), maka perintah tersebut tidak bisa dilakukan. Sebab sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bila
salah satu syarat sahnya pelaksanaan shalat Jum'at adalah harus dilakukan
dengan berjamaah. Padahal ketika itu sangat sulit untuk mengumpulkan umat Islam
secara bersama-sama di satu tempat dan pada waktu yang sama pula dalam keadaan
yang tidak aman. Namun, meski tidak bisa melaksanakan shalat Jum'at, Nabi Muhammad masih
sempat mengutus salah seorang sahabatnya yang bernama Mush’ah bin Umair bin
Hasyim yang tinggal di kota Madinnah, agar dia mengajarkan Al-Qur'an pada penduduk
kota itu. Pada saat inilah sejarah shalat Jum'at dimulai. Karena selain
mengajarkan Al-Qur'an, sahabat setia Nabi tersebut juga meminta ijin pada
beliau untuk menyelenggarakan ibadah shalat Jum'at. Dan, Rasul dengan senang hati mengijinkannya. Jadi, Mush'ah
bin Umair bin Hasyim adalah orang yang pertama kali melakukan ibadah ini.
Sementara, Nabi Muhammad sendiri baru bisa melakukan
shalat Jum'at, ketika dia sudah berada di kota Madinnah. Pada waktu itu, beliau
ada di suatu daerah yang bernama Quba' dan menemui sahabat dekatnya yang lain
yang bernama Bani 'Amr bin 'Auf. Peristiwa ini terjadi pada hari Senin pada 12
bulan Rabi'ul Awwal. Kemudian tiga hari sesudahnya, yaitu hari Kamis, Nabi
mendirikan sebuah masjid. Mesjid yang pertama didirikan oleh Nabi adalah Mesjid
Quba. Keesokannya, pada hari Jum'at, Nabi Muhammad bertemu lagi dengan
sahabatnya itu di kota Madinnah yang akan mengadakan shalat Jum'at di sebuah
lembah yang telah dijadikan masjid dan tempatnya tidak begitu jauh dari mereka
berdua. Mengetahui hal tersebut, maka Nabi Muhammad memutuskan untuk ikut melakukan
shalat Jum'at sekaligus berkhutbah sebelum pelaksanaan shalat. Inilah khutbah
pertama yang dilakukan oleh Rasul, ketika berada di kota Madinnah. Begitulah
sekilas sejarah shalat Jum'at menurut catatan dan bukti-bukti yang ada.
Jum'at pertama yang dilakukan Rasul SAW adalah di Wadi
Ranuna, sekitar satu kilometer dari Masjid Quba, atau kurang lebih empat
kilometer dari Madinah al-Munawwarah. Di sana kini berdiri sebuah masjid yang
diberi nama Masjid Jum'at. Tentu saja, dalam shalat Jum'at itu diselenggarakan
khutbah Jum'at yang disampaikan Rasul SAW kepada kaum Muslim. Apa isi khutbah
Rasul SAW pada saat itu? Hanafi al-Mahlawi dalam bukunya Al-Amakin al-Masyhurah
Fi Hayati Muhammad (Tempat-tempat bersejarah yang dikunjungi Rasul SAW), isi
khutbah itu adalah sebagai berikut;
"Segala puji bagi Allah, kepada-Nya aku memohon
pertolongan, ampunan, dan petunjuk. Aku beriman kepada Allah dan tidak kufur
kepada-Nya. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan tidak ada
sekutu bagi-Nya. Dan, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan
Allah. Dia telah mengutusnya dengan petunjuk dan agama yang benar, dengan
cahaya dan pelajaran, setelah lama tidak ada rasul yang diutus, minimnyua ilmu,
dan banyaknya kesesatan pada manusia di kala zaman menjelang akhir dan ajal
kian dekat.
“Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya ia telah
mendapatkan petunjuk. Dan, barang siapa yang bermaksiat kepada Allah dan
Rasul-Nya, sesungguhnya ia telah melampaui batas dan tersesat dengan kesesatan
yang sangat jauh. Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada
Allah. Itulah wasiat terbaik bagi seorang Muslim. Dan, seorang Muslim hendaknya
selalu ingat akhirat dan menyeru kepada ketakwaan kepada Allah. Berhati-hatilah terhadap yang diperingatkan Allah. Sebab, itulah peringatan
yang tiada tandingannya. Sesungguhnya ketakwaan kepada Allah yang dilaksanakan
karena takut kepada-Nya, ia akan memperoleh pertolongan Allah atas segala
urusan akhirat.
"Barang siapa yang selalu
memperbaiki hubungan dirinya dengan Allah, baik di kala sendiri maupun di
tengah keramaian, dan ia melakukan itu tidak lain kecuali hanya mengharapkan
rida Allah, maka baginya kesuksesan di dunia dan tabungan pahala setelah mati,
yaitu ketika setiap orang membutuhkan balasan atas apa yang telah dilakukannya.
Dan, jika ia tidak melakukan semua itu, pastilah ia
berharap agar masanya menjadi lebih panjang. Allah memperingatkan kamu akan
siksa-Nya. dan Allah Mahasayang kepada hamba-hamba-Nya." (QS Ali Imran
[3]: 30).
Dialah Zat yang benar firman-Nya, melaksanakan
janji-Nya, dan semua itu tidak pernah teringkari. Allah berfirman,
"Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah, dan Aku sekali-kali tidak
menganiaya hamba-hamba-Ku." (QS Qaf [50]: 29).
Karenanya, bertakwalah kalian kepada Allah dalam
urusan sekarang maupun yang akan datang, dalam kerahasiaan maupun
terang-terangan. "Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa kepada Allah,
niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan
pahala baginya." (QS At-Thalaq [65]: 5). "Barang siapa bertakwa
kepada Allah, sungguh ia telah memperoleh kemenangan yang besar." (QS
Al-Ahzab [33]: 71).
Sesungguhnya ketakwaan kepada Allah menghindarkan dari
kemarahan, hukuman, dan murka-Nya. Takwa kepada Allah akan membuat wajah
bersinar terang, membuat Allah rida, dan meninggikan derajat. Lakukanlah dengan
sepenuh kemampuan kalian, dan jangan sampai kurang di sisi Allah.
Dia telah mengajarkan kepada kalian dalam kitab-Nya
dan membentangkan jalan-Nya, untuk mengetahui siapa yang benar dan untuk
mengetahui siapa yang dusta. (QS Al-Ankabut [29]: 3).
Maka, berbuat baiklah, sebagaimana Dia berbuat baik
kepada kalian, dan musuhilah musuh-musuh-Nya. Berjihadlah di jalan Allah dengan
sebenar-benarnya jihad. Dia telah memilih dan menamakan kalian sebagai Muslim.
(QS Al-Hajj [22]: 78). Agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan
yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata.
(QS Al-Anfal [8]: 42).
Tiada daya upaya, kecuali hanya dengan kekuatan Allah.
Karenanya, perbanyaklah mengingat Allah, dan beramallah untuk kehidupan setelah
mati. Sesungguhnya orang yang membangun hubungan baik dengan Allah, Allah pun
akan membuat baik hubungan orang itu dengan manusia lainnya. Karena Allah yang memberi ketetapan kepada manusia, sedang manusia tidak
mampu memberi ketetapan kepada-Nya. Dia menguasai manusia, sedang manusia tidak
bisa menguasai-Nya. Allah itu Maha Agung. Tiada daya dan kekuatan selain dengan
kekuatan Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung."
Demikianlah isi khutbah Rasul SAW
sebagaimana disebutkan dalam Tarikh Thabari, Tafsir al-Qurthubi, Subul al-Huda
wa ar-Rasyad, dan Al-Bayan al-Muhammadi karya Dr Mustafa Asy-Sya'kah.
Asy-Sya'kah menegaskan bahwa
khutbah diatas merupakan khutbah Rasul SAW saat shalat Jum'at pertama di Wadi
Ranuna. Penjelasan ini juga diperkuat dengan keterangan Ibnu
Abbas RA yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir. Wallahu A'lam.
2. Dasar hukum shalat jum’at
Rasulullah
khabarkan dalam hadits-hadits Beliau, diantaranya:
خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ
وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ إِلَّا
فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ
"Sebaik-baiknya
hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jum'at. Pada hari itu Adam
diciptakan, masuk dan keluar dari syurga dan hari kiamat hanya akan terjadi
pada hari Jum'at."
Pada hari
Jum'at, Allah mensyari’atkan shalat Jum'at, sebagaimana dinyatakan dalam
firmanNya :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ
تَعْلَمُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui" [Al Jum'ah : 9].
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ
اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Apabila
telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung". [Al
Jum'ah : 10].
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا
ۚ قُلْ مَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ ۚ وَاللَّهُ
خَيْرُ الرَّازِقِينَ
"Dan
apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju
kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah:
"Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan
perniagaan", dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki". [Al Jum'ah : 11].
Hukum
shalat Jum'at adalah wajib dengan dasar Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Adapun
dalil dari Al Qur’an adalah firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ
تَعْلَمُونَ
"Hai
orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari
Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." [Al
Jum'ah:9]
Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk menunaikannya, padahal perintah
-dalam istilah ushul fiqh- menunjukkan kewajiban. Demikian juga larangan sibuk
berjual beli setelah ada panggilan shalat, menunjukkan kewajibannya; sebab
seandainya bukan karena wajib, tentu hal itu tidak dilarang.
Sedangkan
dalil dari Sunnah, ialah sabda Rasulullah:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ
عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ
لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ
"Hendaklah
satu kaum berhenti dari meninggalkan shalat Jum'at, atau kalau tidak, maka
Allah akan mencap hati-hati mereka, kemudian menjadikannya termasuk orang yang
lalai."
Shalat jum’at hukumnya fardhu
‘ain bagi tiap-tiap muslim, mukallaf, laki-laki, sehat, dan mukim di tempat
dilaksanakannya shalat jum’at.
Syarat-syarat sahnya melakukan
shalat jum’at antara lain: tempat shalat jum’at harus tertentu, jumlah jama’ah
minimal 40 orang, dilakukan ketika dzuhur, didahului 2 khutbah sebelum
melaksanakan shalat jum’at.
Rukun khutbah antara lain:
membaca al-hamdulillah dalam khutbah itu, membaca shalawat nabi dalam
kedua khutbah, berwasiat taqwa kepada Allah dalam kedua khutbah, membaca ayat
Al-Qur’an dalam salah satu khutbah, memohonkan maghfirah bagi sekalian
mukminin pada khutbah kedua.
Syarat-syarat khutbah antara
lain: isi rukun khutbah dapat didengar oleh 40 orang ahli jum’ah,
berturut-turut antara khutbah pertama dan khutbah kedua, menutup auratnya,
badan dan pakaian serta tempatnya suci dari hadats dan najis.
Sunah-sunah jum’at antara lain:
mandi dan membersihkan tubuh, memakai pakaian putih, memotong kuku, memakai
wamgi-wangian, memperbanyak bacaan Al-Qur’an dan dzikir, tenang waktu khatib
membaca khutbah.
b. Dzikir
Dzikir artinya mengingat,
yakni mengingat akan dzat Allah yang telah memberikan kehidupan kepada makhluk.
Hendaknya di setiap langkah manusia selalu diiringi dengan dzikir, terutama
setelah melakukan shalat. Disunahkan bagi mushalli ketika selesai salam agar
mengikuti petunjuk Rasulullah SAW, yaitu membaca dzikir-dzikir yang dilansir
dalam oleh sejumlah hadits, diantaranya:
v
Hadits Tsauban yang menceritakan bahwa seuasai shalat, Rasulullah SAW
beristighfar tiga kali lalu
berdo’a:
اللّهمّ
انت السّلام ومنك السّلام تباركت ذالجلال و الإكرام
Sebagaimana Hadits di bawah ini :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلاَتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلاَثًا وَقَالَ
: اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ
وَالْإِكْرَامِ
“Adalah
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
apabila selesai dari sholatnya, beliau istighfar (meminta ampun) tiga
kali dan beliau membaca : “Allahumma Antas salam wa minkas Salam
tabarakta ya dzal Jalali wal Ikram” (Wahai Allah Engkau
adalah As-Salam[1] dan dari-Mulah keselamatan. Maha berkah Engkau wahai Pemilik Al-Jalal (keagungan) dan
Al-Ikram (kemuliaan). (HSR. Muslim)
v
Dari Abdullah bin Zubair yang bercerita: seusai salam dari shalatnya
Rasulullah berdzikir dengan suara keras
لاإله الااللّه وحده لاشريك له له
الملك وله الحمد وهو على كلّ شيءقدير لا حول ولا قوّة إلاّ باالله لاإله إلاالله
ولا نعبد إلاّ ايّاه له انّعمة وله افضل وله الثّناء الحسن لاإله إلاالله مخلصين
له الدّين ولو كره الكافرون
v
Hadits narasi Abu Hurairah bahwasannya Nabi bersabda: Barang siapa tiap
habis shalat bertasbih membaca subhanallah sebanyak 33 kali, Alhamdulillah 33
kali, dan takbir 33 kali, sehingga totalnya 99, kemudian sebagai penggenap 100
membaca:
لاإله الااللّه وحده لا شريك
له له الملك وله الحمد وهو على كلّ شيء قدير
maka akan diampuni dosa-dosanya, meskipun sebanyak buih di lautan.
6. Shalat Sunah,
Waktu Yang Dilarang Shalat dan Shalat Khauf
a. Shalat Sunah
Shalat sunah disyariatkan
untuk menambal kekurangan yang mungkin terdapat pada shalat-shalat fardhu.
Shalat sunah juga mengandung keutamaan-keutamaan yang tidak terdapat pada
ibadah-ibadah lain.
Shalat sunah
terbagi atas dua macam, yaitu muthlaq dan muqayyad. Sunah muthlaq berarti
seseorang hanya berniat shalat saja. Sedangkan sunah muqayyad dibagi lagi
menjadi 2 macam, yakni yang disyariatkan sebagai shalat-shalat sunah yang mengikuti shalat fardhu (sunah fajar,
dzuhur, ashar, maghrib, dan isya), yang disyariatkan bukan sebagai shalat sunah
yang mengikuti shalat fardhu (shalat qiyamul lail, shalat hajat, dan lain
sebagainya).
b. Waktu yang
dilarang shalat
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjelaskan
alasan dilarangnya shalat pada waktu-waktu tersebut berdasarkan sabdanya kepada
Amr bin ‘Abasah al-Sulami:
صَلِّ صَلَاةَ
الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى
تَرْتَفِعَ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ
وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ
مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ
عَنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّ حِينَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ
فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ
ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَإِنَّهَا تَغْرُبُ
بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kerjakan shalat
Shubuh, kemudian jangan kerjakan shalat hingga matahari terbit dan
meninggi. Karena (saat itu) matahari terbit di antara dua tanduk syetan dan
saat itu pula orang-orang kafir bersujud kepadanya. Setelah itu silahkan
mengerjakan shalat (sunnah) karena shalat itu disaksikan dan dihadiri (oleh
Malaikat) sehingga bayangan tegak lurus (tengah hari). (Saat itu) jangan
kerjakan shalat, karena neraka sedang dinyalakan. Jika bayangan telah condong,
silahkan kerjakan shalat karena shalat disaksikan dan dihadiri (oleh Malaikat)
sehingga engkau mengerjakan shalat ‘Ashar. Sesudah itu janganlah engkau mengerjakan
shalat hingga matahari terbenam. Sesungguhnya matahari terbenam di antara dua
tanduk syetan dan ketika itu orang-orang kafir bersujud kepadanya.” (HR. Muslim)
Dari hadits di atas dapat di simpulkan beberapa waktu di larang
melaksanakan shalat yaitu sebagai berikut :
1) Shalat setelah melakukan shalat subuh dan ashar
2) Shalat pada waktu matahari terbit, tepat di
tengah-tengah (istiwa’) dan pada saat terbenam
3) Shalat setelah terbit fajar sebelum masuk waktu
subuh
4) Shalat sunah setelah iqamah
5) Shalat pada saat khutbah jum’at
c. Shalat khauf
Kaum muslimin disyariatkan
meminta perlindungan kepada Allah ketika musuh datang untuk memerangi mereka
atau ketika takut kepada binatang buas, kebakaran, tenggelam, ataupun hal
lainnya dengan melakukan shalat khauf (karena takut). Firman Allah SWT:
#sÎ)ur |MZä.
öNÍkÏù
|MôJs%r'sù
ãNßgs9
no4qn=¢Á9$#
öNà)tFù=sù
×pxÿͬ!$sÛ
Nåk÷]ÏiB
y7tè¨B
(#ÿrääzù'uø9ur
öNåktJysÎ=ór&
#sÎ*sù
(#rßyÚy
(#qçRqä3uù=sù
`ÏB
öNà6ͬ!#uur
ÏNù'tGø9ur
îpxÿͬ!$sÛ
2t÷zé&
óOs9
(#q=|Áã
(#q=|Áãù=sù
y7yètB
“Dan apabila kamu berada di
tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat
bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat)
besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat
besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat)[344], Maka hendaklah mereka
pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan
yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu”
(QS. An-Nisa’: 102)
Al-Bukhari (902) telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas RA, dia berkata:
قَامَ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ
قَامَ النَّاسُ مَعَهُ، فَكَبَّرَ وَكَبَّرُوا مَعَهُ، وَرَكَعَ نَاسٌ مِنْهُمْ،
ثُمَّ سَجَدَ وَسَجَدُوا مَعَهُ، ثُمَّ قَامَ لِلثَّانِيَةِ فَقَامَ الَّذِيْن
سَجَدُوا وَحَرَسُواِلاِخْوَانِهِمْ، وَاَتَتِ الطَائِفَةُ اْلاُخْرَى فَرَكَعُوْا
وَسَجَدُوا مَعَهُ وَالنَّاسُكُلُّهُمْ فِى صَلاَةٍ، وَلَكِنْ يَحْرُسُ بَعْضُهُمْ
بَعْضًا
“Nabi
SAW berdiri, dan orang-orang berdiri bersama beliau. Maka beliau pun takbir,
dan mereka pun takbir bersama beliau. Lalau ada beberapa orang dari mereka yang
ikut ruku’. Selanjutnya Nabi sujud, dan (hanya) mereka inilah yang ikut sujud
bersama beliau. Kemudian Nabi bangkit untuk rakaat kedua, maka bangkit pula
mereka yang tadi ikut sujud lalu menjaga kawan-kawan mereka, sementara kelompok
yang lain datang lalu ruku’ dan sujud bersama beliau. Sedang orang-orang itu
seluruhnya berada dalam satu shalat, tetapi sebagian mereka menjaga sebagian
lainnya.
Ibnu Mas’ud mengatakan:
Rasulullah SAW melakukan shalat khauf, lalu para sahabat berdiri membentuk dua
shaf. Satu shaf di belakang nabi dan satu shaf lagi mengahadap musuh. Nabi shalat satu raka’at bersama shaf yang
ada di belakangnya, kemudian mereka berdiri dan pergi, digantikanlah oleh
orang-orang yang menghadap musuh tersebut., kemudian kelompok yang pertama
datang lagi menggantikan posisi mereka, lalu Rasulullah salat satu raka’at
bersama mereka kemudian salam. Kemudian mereka berdiri dan shalat sendiri satu
raka’at, kemudian salam, lalu pergi dan digantikan orang-orang yang menghadap
musuh. Mereka kembali lagi ke tempat mereka, lalu shalat sendiri satu raka’at,
kemudian salam.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Shalat merupakan pokok
kewajiban bagi umat muslim, terutama shalat fardhu. Shalat fardhu dibagi menjadi
lima yang telah dijelaskan pada makalah diatas. Shalat juga mempunyai rukkun
dan syarat sebagai penyempurna ibadah seseorang. Apabila syarat dan rukunnya
kurang, maka shalatnya pun tidak akan sempurna.
Selain shalat fardhu,
terdapat shalt sunah yang berfungsi sebagai penambah pahala ataupun pelengkap
dlam ibadah kita. Shalat sunah dibagi menjadi dua, yakni sunah muthlaq dan
sunah muqayyad. Dimana setiap shalat sunah memiliki waktu dan keutamaan
sendiri-sendiri dalam setiap pelaksanaannya.
B. Saran
Akhirnya, makalah yang
dapat kami susun. Semoga memberikan manfaat bagi kita semua, kritik dan saran
membangun senantiasa kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurraziq Mahir Mansur, 2007, mu’jizat shalat
berjamaah, Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Azzam Abdul Aziz Muhammad; dkk, 2010, Fiqh Ibadah, Jakarta: Amzah.
Nursyamsudin, 2009, Fiqih, Jakarta:
Depag RI.
Rifa’I Mohammad, 2012, Risalah Tuntuna Shalat
Lengkap, Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Sabiq Sayid, 2011, Fikih Sunnah 2, Bandung: PT. Al-Ma’arif.
An- Nawawi, Imam “ Syarah
Shahih Muslil “ Semarang : Toha Putera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa komentar dan masukan anda dengan blog ini ?