Pages

Selasa, 23 Juli 2013

hadits tentang pernikahan


MAKALAH

HADIST TENTANG PERNIKAHAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hadist
Dosen Pengampu : Prof.Dr.H.M.Erfan Soebahar, M.A.






Disusun Oleh:
Muhammad Ihsan    (123911218)
Yunliana Maryani    (123911294)
Siti Pujiyanti            (123911293)



FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
 SEMARANG
2013
HADITS TENTANG PERNIKAHAN

A.      PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan sunah nabi yang sangat dianjurkan pelaksanaannya bagi umat islam. Pernikahan adalah suatu peristiwa yang fitrah, dan sarana paling agung dalam memelihara keturunan dan memperkuat antar hubungan antar sesama manusia yang menjadi sebab terjaminnya ketenangan cinta dan kasih sayang.
Dalam makalah ini, pemakalah akan membahas tentang pernikahan dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1.         Apa yang dimaksud dengan Pernikahan?
2.         Bagaimana Hadits Tentang Cara Memilih Jodoh?
3.         Bagaimana Hadits Tentang Nikah Sebagai Sunnah Nabi?
4.         Bagaimana Hadits Tentang Anjuran untuk Nikah?

B.       HADIST PENJELASAN
a.       Hadist Abu Hurairah tentang kategori pemilihan jodoh
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِاَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ    
Artinya :“Diriwayatkan dari abu Hurairah r.a bahwa Rasullulah  saw bersabda : ”Perempuan dinikahi karena empat faktor, yaitu karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah engkau memilih yang beragama, karena akan membawamu pada kebahagiaan. (H.R.Imam Bukhori)

b.      Hadist ‘Aisyah tentang Nikah sebagai sunnah Nabi
عَنْ عَا ئِشَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِيْ فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ وَتَزَوَّجُوْا فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌبِكُمُ الْاَمَمَ وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ  فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya: “ Dari Aisyah R.A. berikut, bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda:menikah adalah sunnahKu, siapa yang tidak mengamalkan sunnahKu, maka dia bukan termasuk umatKu,menikahlah karena aku sangat senang atas jumlah besar kalian dihadapan umat-umat lain, siapa yang telah memiliki kesanggupan, maka menikahlah jika tidak maka berpuasalah, karena puasa itu bisa menjadi kendali. (

c.       Hadist Abdullah bin Mas’ud tentang anjuran untuk menikah
عَنْ عَبْدِ الرّحْمَنِ بْنِ يَزِيْدَ عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَالْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاَحْصَنَ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya: Dari Abdurrahman bin Yazid, dari Abdullah (dia) berkata, berkata Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hai para pemuda! Barang siapa yang mampu beristri, hendaklah ia kawin; karena perkawinan itu berpengaruh besar untuk menundukkan mata (dari memandang wanita yang bukan keluarga) dan tangguh menjaga alat vital. Barang siapa yang tak sanggup kawin, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu alat penahan nafsu birahi”.(dikeluarkan dari HR. Muslim dalam Kitab Nikah)[1]

C.      KRITERIA MEMILIH JODOH
Pernikahan adalah bentukan kata benda dari kata dasar nikah; kata itu berasal dari bahasa Arab yaitu kata nikah (bahasa Arab: النكاح) yang berarti perjanjian perkawinan; berikutnya kata itu berasal dari kata lain dalam bahasa Arab yaitu kata nikah (bahasa Arab: نكاح) yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi’). Kata nikah sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus) juga untuk arti akad nikah.[2]
Dari hadist di atas, dapat dilihat bahwa Nabi membagi faktor seorang lelaki memilih istri, yaitu :
1)        Berdasarkan kekayaan
Di dalam hadis ini seorang laki-laki (mencari jodoh) dianjurkan untuk memilih calon istri berdasarkan hartanya. Karena dengan harta mereka bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Dengan harta pula mereka tidak akan kekurangan dan bisa bersenang-senang, serta bisa menyisihkan sedikit hartanya untuk berbagi dengan yang lain. Di dalam hadis juga diterangkan jika harta itu milik istri maka suami boleh menggunakan harta tersebut dengan izin istri. Berbeda halnya dengan harta milik suami, istri berhak memakainya karena pada dasarnya suami wajib membeberi nafkah kepada istri. Namun makruh hukumnya jika seorang laki-laki memilih calon istri berdasarkan  hartanya, karena dikhawatirkan dengan harta istri bisa menurunkan kehormatan suami.
2)         Berdasarkan Nasabnya
Anjuran berikutnya memilih calon pasangan berdasarkan nasabnya. Nasab disini bisa diartikan menjadi dua makna yaitu, keturunan dan derajat atau pangkat. Jika dilihat dari keturunan, maka seseorang yang akan memilih jodohnya harus mengetahui asal-usul kelahiran si calon dari ayah dan kerabat dekatnya yang satu nasab. Dengan mengetahui nasab atau keturunannya maka tidak akan menimbulkan fitnah. Nasab dilihat dari derajat atau pangkat kemuliaan. Dengan memilih wanita yang memiliki derajat atau pangkat maka bisa mengangkat kehormatan dirinya. Namun, laki-laki yang menikahi seorang perempuan berdasarkan kehormatannya saja, juga dihinakan oleh Nabi, sebagaimana sabdanya:  “barang siapa menikahi wanita karena kemuliaannya, maka tidak akan bertambah baginya kecuali kehinaan.
3)         Berdasarkan kecantikannya
Memilih wanita dari kecantikannya dan kebaikannya. Karena wanita yang cantik itu enak dipandang. Akan tetapi makruh juga hukumnya, jika menikah dengan wanita yang sangat cantik malah justru akan menimbulkan keresahan pada suaminya, bahkan takut menimbulkan fitnah.
4)         Berdasarkan agamanya
Dari keempat kriteria di atas, memilih perempuan untuk dinikahi berdasarkan agamanya adalah yang paling pokok yang dianjurkan oleh Nabi saw. Memilih wanita dari agamanya, karena wanita yang baik agamanya dapat memberikan manfaaat dunia dan akhirat. Wanita yang kuat agamanya juga memiliki akhlak yang baik (wanita sholihah), akan mudah patuh dan taat diatur dalam keluarga, serta wanita inilah yang kelak akan kita butuhkan. Wanita sholihah senantiasa bersedia menemani dan menjaga kehormaatan sang suami bagaimanapun keadaannya. Hal ini senada dengan tujuan pernikahan yakni untuk menghasilkan keturunan yang baik, yang kelak akan menjadi penerus perjuangan agama Islam.
Keturunan yang seperti inilah yang dimaksud oleh Rasulullah saw sebagai keturunan yang dapat memperbanyak umat beliau. Oleh karena itu, buah yang baik akan sulit dihasilkan kecuali oleh pohon yang baik pula. Bahkan diriwayatkan oleh Ibnu Majah, “janganlah memilih wanita karena kebaikannya karena dengan kebaikannya maka akan ........ dan janganlah memilih berdasarkan hartanya karena hartanya akan menimbulkan ......... akan tetapi pilihlah wanita dari agamanya, sekalipun wanitu itu hitam sekali tetapi agamanya lebih utama.
Banyak pendapat mengenai hadits ini, diantaranya pendapat Al-Ghazali bahwa memilih istri hanya berdasarkan agamanya karena sesungguhnya kecantikan, harta, dan kedudukan itu hanyalah sementara.

D.      HADITS TENTANG NIKAH SEBAGAI SUNNAH NABI
Dari hadits Aisyah di atas menegaskan bahwa menikah merupakan sunnah Nabi dan siapa saja yang mampu menjalankan pernikahan dan sanggup membina rumah tangga maka segeralah menikah, karena akan diakui sebagai umat Nabi Muhammad saw, tapi jika tidak mampu Nabi menganjurkan untuk berpuasa, karena dengan berpuasa itu bisa menjadi kendali dari hawa nafsu.
Dalam pernikahan, ulama’ syafi’iyah membagi anggota masyarakat ke dalam 4 golongan yaitu:
  1. Golongan orang yang berhasrat untuk berumah tangga serta mempunyai belanja untuk itu. Golongan ini dianjurkan untuk menikah.
  2. Golongan yang tidak mempunyai hasrat untuk menikah dan tidak punya belanja. Golongan ini dimakruhkan untuk menikah.
  3. Golongan yang berhasrat untuk menikah tetapi tidak punya belanja. Golongan inilah yang disuruh puasa untuk mengendalikan syahwatnya.
  4. Golongan yang mempunyai belanja tetapi tidak berhasrat untuk menikah, sebaiknya tidak menikah, tetapi menurut Abu Hanifah dan Malikiah diutamakan menikah.[3]

E.        ANJURAN MENIKAH
Menurut ahli bahasa golongan pemuda dalam hadits tersebut adalah golongan yang belum mencapai tiga puluh tahun. Maka golongan pemuda tersebut dianjurkan untuk menikah, dengan beberapa ketentuan. Anjuran ini bukan berarti wajib melainkan sunah. Seperti pendapat Imam Nawawi dalam kitabnya Shahih Muslim ‘Ala Syarhin bahwa hukum nikah itu dibagi menjadi empat, yaitu:
1.    Laki-laki yang mampu berjima’ dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya maka sunah hukumnya untuk menikah
2.    Laki-laki yang mampu berjima’ tetapi hanya mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya maka makruh hukumnya untuk menikah
3.    Laki-laki yang mampu memenuhi kebutuhannya dan keluarganya tetapi tidak mampu berjima’ maka hukumnya juga makruh untuk menikah
4.    Laki-laki yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya serta tidak mampu berjima’ maka lebih baik menjauhi pernikahan.[4]
Hadits ini juga menerangkan bahwa Nabi SAW menandaskan, siapa saja di antara para pemuda yang mempunyai kesanggupan untuk menikah dan mempunyai penghasilan untuk membelanjai rumah tangga serta berkeinginan hidup berumah tangga hendaklah menikah, tidak boleh membujang. Mereka yang tidak sanggup memelihara rumah tangga, atau tidak mempunyai kemampuan untuk menikah hendaklah dia berpuasa, karena puasa baginya sama dengan mengebirikan (mensterilkan) diri. Maka tidak halal beristri bagi orang yang merasa tidak sanggup memberi nafkah atau mas kawin, atau sesuatu hak istri sebelum dia menerangkan kepada istri tentang keadaannya, dan hendaklah dia menerangkan pula tentang keadaan kesehatan badannya, seandainya dia mempunyai penyakit yang menghalangi persetubuhan.[5]

F.        PENUTUP
1.         Kesimpulan
a.    Pernikahan adalah perkawinan, dalam arti hubungan yang terjalin antara suami dengan ikatan hukum Islam, dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun pernikahan.
b.    Pernikahan merupakan seruan agama atau anjuran yang harus dijalankan oleh manusia yang mampu untuk berkeluarga. Bagi para pemuda yang tidak sanggup memelihara rumah tangga atau tidak mempunyai kemampuan untuk menikah, hendaknya ia berpuasa.
c.    Rasullulah SAW memberiakan kriteria melilih calon istri yaitu berdasarkan agamanya bukan karena hartanya, kedudukannya serta bukan karena kecantikannya.
2.         Penutup
Demikianlah makalah ini kami buat dan disampaikan, semoga bermanfaat untuk kita semua. Apabila ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini kami dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun guna perbaikan pada selanjutnya. Amiiin…













DAFTAR PUSTAKA



Razak dan Rais Lathief Ahmad, Terjemah Hadits Shahih Muslim Juz II, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1980

Rahman Ghofur Abdur. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana prenada media group, 2008

an-Nawawi Muhyidin, Shahih Muslim ‘Ala Syarhin Nawawi, Beirut Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1995

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy Teungku, Mutiara Hadits Jilid 5, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,  2003


[1] Ahmad Razak dan Rais Lathief, Terjemah Hadits Shahih Muslim Juz II, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1980), hlm. 164
[2] Abdur Rahman Ghofur.Fiqh Munakahat.(Jakarta : Kencana prenada media group,2008)hal 7
[3] Teuku Muhammad Harbi As shidiqy. Mutiara Hadits 5. (Semarang T. Pustaka Rizki Putra,2003),hal 5
[4] Muhyidin an-Nawawi, Shahih Muslim ‘Ala Syarhin Nawawi, (Beirut, Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1995), hlm. 147-149
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadits Jilid 5, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,  2003), hlm. 5-6

1 komentar:

Apa komentar dan masukan anda dengan blog ini ?

Followers