MAKALAH
HADIST TENTANG PERNIKAHAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hadist
Dosen Pengampu : Prof.Dr.H.M.Erfan Soebahar, M.A.
Disusun Oleh:
Muhammad Ihsan (123911218)
Yunliana
Maryani (123911294)
Siti Pujiyanti (123911293)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
HADITS TENTANG PERNIKAHAN
A.
PENDAHULUAN
Pernikahan
merupakan sunah nabi yang sangat dianjurkan pelaksanaannya bagi umat islam.
Pernikahan adalah suatu peristiwa yang fitrah, dan sarana paling agung dalam
memelihara keturunan dan memperkuat antar hubungan antar sesama manusia yang
menjadi sebab terjaminnya ketenangan cinta dan kasih sayang.
Dalam
makalah ini, pemakalah akan membahas tentang pernikahan dengan rumusan
masalah sebagai
berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan Pernikahan?
2.
Bagaimana Hadits Tentang Cara Memilih
Jodoh?
3.
Bagaimana Hadits Tentang Nikah Sebagai Sunnah
Nabi?
4.
Bagaimana Hadits Tentang Anjuran untuk Nikah?
B.
HADIST
PENJELASAN
a.
Hadist Abu Hurairah tentang kategori pemilihan
jodoh
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ
الْمَرْأَةُ لِاَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا
فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Artinya :“Diriwayatkan dari abu Hurairah r.a
bahwa Rasullulah saw bersabda : ”Perempuan dinikahi karena empat faktor, yaitu karena hartanya, kedudukannya,
kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah engkau memilih
yang beragama, karena akan membawamu pada kebahagiaan. ” (H.R.Imam Bukhori)
b.
Hadist ‘Aisyah tentang Nikah sebagai sunnah
Nabi
عَنْ عَا ئِشَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِيْ فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ
بِسُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ وَتَزَوَّجُوْا فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌبِكُمُ الْاَمَمَ
وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ
بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya: “ Dari Aisyah R.A. berikut, bahwa
Rasulullah S.A.W. bersabda:menikah adalah sunnahKu, siapa yang tidak
mengamalkan sunnahKu, maka dia bukan termasuk umatKu,menikahlah karena aku
sangat senang atas jumlah besar kalian dihadapan umat-umat lain, siapa yang
telah memiliki kesanggupan, maka menikahlah jika tidak maka berpuasalah, karena
puasa itu bisa menjadi kendali. (
c.
Hadist Abdullah bin Mas’ud tentang anjuran
untuk menikah
عَنْ عَبْدِ الرّحْمَنِ بْنِ يَزِيْدَ
عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ
فَالْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاَحْصَنَ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya: Dari Abdurrahman bin Yazid, dari Abdullah (dia) berkata, berkata
Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hai para pemuda! Barang siapa yang
mampu beristri, hendaklah ia kawin; karena perkawinan itu berpengaruh besar
untuk menundukkan mata (dari memandang wanita yang bukan keluarga) dan tangguh
menjaga alat vital. Barang siapa yang tak sanggup kawin, hendaklah ia berpuasa,
karena puasa itu alat penahan nafsu birahi”.(dikeluarkan dari HR. Muslim dalam
Kitab Nikah)[1]
C.
KRITERIA
MEMILIH JODOH
Pernikahan adalah bentukan
kata benda dari kata dasar nikah; kata itu berasal dari bahasa Arab yaitu kata nikah (bahasa Arab: النكاح) yang berarti perjanjian perkawinan; berikutnya kata itu berasal dari kata lain dalam bahasa Arab yaitu kata nikah
(bahasa Arab: نكاح) yang menurut bahasa
artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh
(wathi’). Kata nikah sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus)
juga untuk arti akad nikah.[2]
Dari hadist di atas, dapat dilihat
bahwa Nabi membagi faktor seorang
lelaki memilih istri, yaitu :
1)
Berdasarkan kekayaan
Di dalam hadis ini seorang laki-laki (mencari jodoh) dianjurkan
untuk memilih calon istri berdasarkan hartanya. Karena dengan harta mereka bisa
mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Dengan harta pula mereka tidak akan
kekurangan dan bisa bersenang-senang, serta bisa menyisihkan sedikit hartanya
untuk berbagi dengan yang lain. Di dalam hadis juga diterangkan jika harta itu
milik istri maka suami boleh menggunakan harta tersebut dengan izin istri.
Berbeda halnya dengan harta milik suami, istri berhak memakainya karena pada
dasarnya suami wajib membeberi nafkah kepada istri. Namun makruh hukumnya jika
seorang laki-laki memilih calon istri berdasarkan hartanya, karena
dikhawatirkan dengan harta istri bisa menurunkan kehormatan suami.
2)
Berdasarkan Nasabnya
Anjuran berikutnya memilih calon pasangan berdasarkan nasabnya. Nasab
disini bisa diartikan menjadi dua makna yaitu, keturunan dan derajat atau
pangkat. Jika dilihat dari keturunan, maka seseorang yang akan memilih jodohnya
harus mengetahui asal-usul kelahiran si calon dari ayah dan kerabat dekatnya
yang satu nasab. Dengan mengetahui nasab atau keturunannya maka tidak akan
menimbulkan fitnah. Nasab dilihat dari derajat atau pangkat kemuliaan. Dengan
memilih wanita yang memiliki derajat atau pangkat maka bisa mengangkat
kehormatan dirinya. Namun, laki-laki yang menikahi seorang perempuan berdasarkan
kehormatannya saja, juga dihinakan oleh Nabi, sebagaimana sabdanya:
“barang siapa menikahi wanita karena kemuliaannya, maka tidak akan bertambah
baginya kecuali kehinaan.
3)
Berdasarkan kecantikannya
Memilih wanita dari kecantikannya dan kebaikannya. Karena wanita
yang cantik itu enak dipandang. Akan tetapi makruh juga hukumnya, jika menikah
dengan wanita yang sangat cantik malah justru akan menimbulkan keresahan pada
suaminya, bahkan takut menimbulkan fitnah.
4)
Berdasarkan agamanya
Dari keempat kriteria di atas, memilih perempuan untuk dinikahi
berdasarkan agamanya adalah yang paling pokok yang dianjurkan oleh Nabi saw.
Memilih wanita dari agamanya, karena wanita yang baik agamanya dapat memberikan
manfaaat dunia dan akhirat. Wanita yang kuat agamanya juga memiliki akhlak
yang baik (wanita sholihah), akan mudah patuh dan taat diatur dalam keluarga,
serta wanita inilah yang kelak akan kita butuhkan. Wanita sholihah senantiasa
bersedia menemani dan menjaga kehormaatan sang suami bagaimanapun
keadaannya. Hal ini senada dengan tujuan pernikahan yakni untuk
menghasilkan keturunan yang baik, yang kelak akan menjadi penerus perjuangan
agama Islam.
Keturunan yang seperti inilah yang dimaksud oleh Rasulullah saw
sebagai keturunan yang dapat memperbanyak umat beliau. Oleh karena itu, buah
yang baik akan sulit dihasilkan kecuali oleh pohon yang baik pula. Bahkan
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, “janganlah memilih wanita karena kebaikannya
karena dengan kebaikannya maka akan ........ dan janganlah memilih berdasarkan
hartanya karena hartanya akan menimbulkan ......... akan tetapi pilihlah wanita
dari agamanya, sekalipun wanitu itu hitam sekali tetapi agamanya lebih utama.
Banyak pendapat mengenai hadits ini, diantaranya pendapat
Al-Ghazali bahwa memilih istri hanya berdasarkan agamanya karena sesungguhnya
kecantikan, harta, dan kedudukan itu hanyalah sementara.
D.
HADITS TENTANG
NIKAH SEBAGAI SUNNAH NABI
Dari hadits Aisyah di atas menegaskan bahwa menikah merupakan sunnah Nabi dan siapa saja yang
mampu menjalankan pernikahan dan sanggup membina rumah tangga maka segeralah
menikah, karena akan diakui sebagai umat Nabi Muhammad saw, tapi jika tidak
mampu Nabi menganjurkan untuk berpuasa, karena dengan berpuasa itu bisa menjadi
kendali dari hawa nafsu.
Dalam pernikahan,
ulama’ syafi’iyah membagi anggota masyarakat ke dalam 4 golongan yaitu:
- Golongan
orang yang berhasrat untuk berumah tangga serta mempunyai belanja untuk
itu. Golongan ini dianjurkan untuk menikah.
- Golongan
yang tidak mempunyai hasrat untuk menikah dan tidak punya belanja. Golongan
ini dimakruhkan untuk menikah.
- Golongan
yang berhasrat untuk menikah tetapi tidak punya belanja. Golongan inilah
yang disuruh puasa untuk mengendalikan syahwatnya.
- Golongan
yang mempunyai belanja tetapi tidak berhasrat untuk menikah, sebaiknya
tidak menikah, tetapi menurut Abu Hanifah dan Malikiah diutamakan menikah.[3]
E.
ANJURAN MENIKAH
Menurut ahli bahasa
golongan pemuda dalam hadits tersebut adalah golongan yang belum mencapai tiga
puluh tahun. Maka golongan pemuda tersebut dianjurkan untuk menikah, dengan
beberapa ketentuan. Anjuran ini bukan berarti wajib melainkan sunah. Seperti
pendapat Imam Nawawi dalam kitabnya Shahih Muslim ‘Ala Syarhin bahwa
hukum nikah itu dibagi menjadi empat, yaitu:
1. Laki-laki yang mampu berjima’ dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan
keluarganya maka sunah hukumnya untuk menikah
2. Laki-laki yang mampu berjima’ tetapi hanya mampu memenuhi kebutuhan dirinya
sendiri dan tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya maka makruh hukumnya
untuk menikah
3. Laki-laki yang mampu memenuhi kebutuhannya dan keluarganya tetapi tidak
mampu berjima’ maka hukumnya juga makruh untuk menikah
4. Laki-laki yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya
serta tidak mampu berjima’ maka lebih baik menjauhi pernikahan.[4]
Hadits ini juga menerangkan bahwa Nabi SAW
menandaskan, siapa saja di antara para pemuda yang mempunyai kesanggupan untuk
menikah dan mempunyai penghasilan untuk membelanjai rumah tangga serta
berkeinginan hidup berumah tangga hendaklah menikah, tidak boleh membujang.
Mereka yang tidak sanggup memelihara rumah tangga, atau tidak mempunyai
kemampuan untuk menikah hendaklah dia berpuasa, karena puasa baginya sama
dengan mengebirikan (mensterilkan) diri. Maka tidak halal beristri bagi orang
yang merasa tidak sanggup memberi nafkah atau mas kawin, atau sesuatu hak istri
sebelum dia menerangkan kepada istri tentang keadaannya, dan hendaklah dia
menerangkan pula tentang keadaan kesehatan badannya, seandainya dia mempunyai
penyakit yang menghalangi persetubuhan.[5]
F.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
a.
Pernikahan adalah perkawinan, dalam arti
hubungan yang terjalin antara suami dengan ikatan hukum Islam, dengan memenuhi
syarat-syarat dan rukun-rukun pernikahan.
b.
Pernikahan merupakan seruan agama atau anjuran
yang harus dijalankan oleh manusia yang mampu untuk berkeluarga. Bagi para
pemuda yang tidak sanggup memelihara rumah tangga atau tidak mempunyai
kemampuan untuk menikah, hendaknya ia berpuasa.
c.
Rasullulah SAW memberiakan kriteria melilih
calon istri yaitu berdasarkan agamanya bukan karena hartanya, kedudukannya
serta bukan karena kecantikannya.
2.
Penutup
Demikianlah makalah ini kami buat dan
disampaikan, semoga bermanfaat untuk kita semua. Apabila ada kekurangan dalam
pembuatan makalah ini kami dengan senang hati menerima kritik dan saran yang
membangun guna perbaikan pada selanjutnya. Amiiin…
DAFTAR
PUSTAKA
Razak
dan Rais Lathief Ahmad, Terjemah Hadits Shahih Muslim Juz II, Jakarta:
Pustaka Al Husna, 1980
Rahman Ghofur Abdur. Fiqh Munakahat. Jakarta:
Kencana prenada media group, 2008
an-Nawawi
Muhyidin, Shahih Muslim ‘Ala Syarhin Nawawi, Beirut Lebanon:
Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1995
[1]
Ahmad
Razak dan Rais Lathief, Terjemah Hadits Shahih Muslim Juz
II, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1980), hlm. 164
[4]
Muhyidin
an-Nawawi, Shahih Muslim ‘Ala Syarhin Nawawi, (Beirut, Lebanon: Dar
al-Kotob al-Ilmiyah, 1995), hlm. 147-149
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadits Jilid
5, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2003), hlm. 5-6
terima kasih, sangat bermanfaat.
BalasHapussouvenir pernikahan murah tulungagung