KITAB KITAB FIQIH TENTANG MUAMALAT
I.
Pendahuluan
Pada dasarnya Allah telah meneapkan semua hokum dari
segala sesuatu itu di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kemudian para ahli ushhul
fiqih menggali pokok-pokok pemahaman dari teks-teks yang ada pada keduanya.
Dengan memanfaatkan jeri payah para ahli ushul fiqih tersebut, para ahli fiqh
kemudian menjelaskan hokum dari segala sesuatu itu. Sehingga
penjeasan-penjelasan tersebut tertuang dalam kitab-kitab fiqihbyang dijadikan
pedoman Ulama untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi hingga saat
ini.
Sudah kita
ketahui pengertian fiqih menurut bahyhasa berarti faham atau tahu. Sedang
menurut istilah, fiqih berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’
yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalil
tafsil (terperinci dan jelas).
Dengan demikian bahwasanya kita
sebagai muslim diwajibkan mempelajari ilmu yang akan dilakukan, yaitu ilmu ilmu
Ushuludin dan ilmu Fiqih, yang ada hubungannya dengan ihwal manusia. Seperti
kufur, iman, shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya.
II.
Permasalahan
Dari
uraian tersebut dapat di ambil permasalahan sebagai berikut :
a. Rukun
sahnya jual beli dan khiyar
b. Membatalkan
jual beli, hukumnya rira dan salam
c. Sirkah
( perseroan ), qirad, musarakah, muzara’ah
d. Menyewa,
jialah, hutang jaminan, hiwalah, daman
III.
Pembahasan
Pokok Materi
A.
Rukun
Sahnya Jual Beli Dan Khiyar
Perdagangan atau jual beli menurut
bahasa berarti al’ bai’ah, At-Tijarah, dan al- Mubadalah sebagai mana firman
Allah S.W.T :
cqã_öt
Zot»pgÏB
`©9
uqç7s?
Artinya
: “ mereka itu mengharapkan tijarah (perdagangan ) yang tidak akan rugi (QS.
Fathir : 29)
Jual beli dalam bahsa arab terdiri dari
dua kata yang mengandung makna berlawanan yaitu Al-Ba’I yang artinya jual dan
Asy Syira’a yang artinya beli. Dengan demikian jual beli adalah pernukaran
harta (dalam pengertian luas) atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu
benda (barang) yang dilakukan antara dua pihak dengan kesepakatan (akad)
tertentu atas dasar suka sama suka.
Mengenai rukun jual beli, para ulama
memiliki perpedaan pendapat. Menurut mahzab Hanafi rukun jual beli hanya ijab
qobul saja. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli hanyalah
kerelaan antara dua belah pihak untuk berjual beli. Menurut jumhur ulama rukun
jual beli ada empat ;
a. Orang
yang berakad (penjual dan pembeli)
b. Sighat
(lafal ijab qobul)
c. Benda-benda
yang diperjual belikan
d. Ada
nilai tukar pengganti barang
Ketika melakukan sebuah akad atau perjanjian
dalam jual beli tekadang perjanjian itu diselimuti beberapa cacat yang bisa
menghilangka kerelaan sebagian pihak, atau menjadikan perjanjian itu tidak
memiliki sandaran ilmu yang benar. Maka
pada saat itu pihak yang dirugikan berhak membatalkan perjanjian.
B.
Membatal
Jual Beli, Hukumnya,
Ketika melakukan sebuah akad atau
perjanjian dalam jual beli tekadang perjanjian itu diselimuti beberapa cacat
yang bisa menghilangka kerelaan sebagian pihak, atau menjadikan perjanjian itu
tidak memiliki sandaran ilmu yang benar.
Maka pada saat itu pihak yang dirugikan berhak membatalkan perjanjian.
Dalam akad jual beli , dalam islam
dibolehkan untuk memilih, apakah akan meneruskan jual beli atau akan
membatalkannya. Bila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu
benda yang dipejual belikan, maka yang dibenarkan adalh kata-kata yang punya barang.
Bila diantara keduannysa tidak ada saksi dan bukti lainnya. Rasulullah SAW
bersabda : “ bila penjual dan pembeli berselisih dan antara keduannya tak ada
saksi, maka yang dibenarkan adalah perkataan yang punya barang atau dibatalkan”
(HR.Abu Dawud)
C.
Syirkah
(Perseroan) , Qirad, Musaqah Dan Muzara’ah
a.
Syirkah
(Perseroan)
Kata syirkah dlam bahsa arab berasal
dari kaata syarika (fi;il madhi) yasyraku (fi’il mudhaorik), syarikan/ syirkatan/
syarikatan ( masdar/ kata dasar) ; artinya menjadi sekutu atau serikat ( kmaus al- Munawir, hlm 765) kata dasrnya
boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah, akan tetapi menurt al- jaziri
dalam al-Fiqh ‘ala al- Madzahib al- Arba’ah , 3/58, dibaca syirkah lebih fasih
(afshah) . menurut arti asli bahasa arab ( makna etimologi) syirkah
berarti mencampurkan dua bagian atau
lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu bagian dengna
bagian lainnya ( An- Nabhani, 1990;146)
Adapun menurut makna syari’at , syirkah
adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan
suatu usaha dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ( An- Nabhani, 1990;146).
Syirkah hukumnya jaiz ( mubah) , berdasarkan dalil hadis Nabi Shalallahu alaihi
wassalam berupa taqrir ( pengakuan) beliau terhadap syirkah, pada saat beliu
diutus sebagai nabi, oaring –orang pada saat itu telah bermuamalah dngan cara
bersyirkah dan Nabi Shalallahu alaihi wassalim membenarkannya. Nabi shalallahu
alaihi wassalam bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah RA: Allah Azza wa
Jalla telah berfirman : aku adalh pihak ketiga dari dari dua belah ihak yang
bersyirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya, kalau salah
satunya berkhianat aku keluar dari keduannya
Adapun macam-macam syirkah adalah
sebagai berikut :
1. Syirkah
milk yaitu : dua orang atau lebih memilikan suatu benda kepada yang lainnya
tanpa ada akad syirkah
2. Syirkah
uqud yaitu : akad yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk berserikat
dalam harta dan keuntungan.
Rukun syirkah yang pokok ada tiga, yaitu:
1. Akad
(ijab qobul)
2. Dua
pihak yang berakad (aqidain) syaratnya harus memiliki kacakapan (ahliyyah)
melakukan tasharruf (pengelolaan harta)
3. Obyek
akad (mahal) disebut juga ma;qud alayhi yang mencakub pekerjaan (amal) dan/atau
modal (mal). (al-Jaziri, 1996: 69; al- Khayyab, 1982:72;1989:13)
Adapun syarat sah akad dada dua yaitu ;
1. Obyek
akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan
akad-akad, misalnya jual bali
2. Obyak
akadnya dapat diwakilkan (wakalah) agar keuntungn syirkah menjadi hak bersama
diantara syarik (mitra Usaha). (an-Nabhani, 1990: 146)
Keberadaan syirkah saat pada zaman sekarang
bisa dicontohkan seperti Firma (FA) persekutuan Comanditer (CV) , perseroan
Terbatas ( PT)
b.
Musaqoh
Dan Muzara’ah
Musaqoh merupakan kerjasama
antara pemilik kebun atau tanaman dan pengelola atau penggarap untuk memelihara
dan menggarap kebun atau tanaman dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya
menurut kesepakatan bersama dan perjanjian
itu disebutkan dalam aqad.
Asas hukum musaqah ialah sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Ibnu Amr RA bahwa Rasulullah SAW
bersabda :
يَعْتَمِلُوهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَأَنَّ لِرَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى دَفَعَ إِلَى يَهُودِ خَيْبَرَ نَخْلَ خَيْبَرَ وَأَرْضَهَا عَلَى أَنْ
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَطْرَ ثَمَرَتِهَا
Artinya
: “bahwa rasul menyerahkan tahan khaibar itu kepada yahudi untuk diolah dan
modal dari hartanya penghasilan separuhnya untuk Nabi”
Sedangkan muzara’ah dan
mukhabarah mempunyai pengertian yang sama, yaitu kejasama antara pemilik sawah
atau tanah dengan penggarapnya, namaun yang dipersoalkan di sini hanya mengenai
bibit pertanian itu. mukhabarah bibitnya berasala dari pemilik lahan, sedangkan
muzara’ah bibitnya ddari petani.
Dasar hokum yang digunakan para
ulama dalam menetapkan hokum mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhori dan muslim, dari Abu Hurairah RA
Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه
قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم (من كانت له أرض فليزرعها
أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه )
Artinya: “Dari
Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw (barangsiapa yang
memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada
saudaranya jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.” (Hadits
Riwayat Muslim)
Aqad musaqah , muzara’ah dan
mukhabarah telah disebutkan dalam hadis yang menyatakan bahwa aqad tersebut di
perbolehkan asalkan dengan kesepatakan bersama antara kedua belah pihak dengan
perjanjian bagi hasil sebanyak separo dari hasil tanaman atau buahnya,
Dalam kaitanya hokum tersebut ,
jumhur ulama’ membolehkan aqad musaqah, muzara’ah dan mukhabarah karena
berdasarkan pratik nabi dan juga pratek sahabat nabi yang baisa melakukan aqad
bagi hasil tanaman, juga karean aqad ini mengguntungkan kedua belah pihak,
mengguntungkan karena bagi pemilik tanah/ tanaman terkadang tidak mempunyai
waktu dalam mengelola tanah atau menanam tanaman. Sedangkan orang yang
mempunyai keahlian dalam hal mengolah tanah terkadang tidak punya modal berupa
uang atau tanah, maka dengan aqad bagi hasil tersebut menguntungkan kedua belah
pihak, dan tidak ada yang diinginkan.
D.
Menyewa
, Jia’alah, Hutang, Jaminan, Hiwalah, Daman.
a.
Menyewa
secara etimologi,
kata ijarah berasal dari kata ajru yang berarti “iwadhu (pengganti ) . oleh karena itu tsawab (pahala) disebut juag
dengan ajru (upah). Dalam syari’at Islam sewa menyewa dinamakan ijarah yaitu
jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi.
Kalau dalam kitab
fiqh kata ijarah selalu diterjemahkan dengan “sewa menyewa” maka hal tersebut
jangan diartikan menyewa barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi dipahami
dalam arti luas. Dalam arti luas ijarah bermakna suatu kad yang berisi penukaran
manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Jadi
menjual manfaatnya bukan barangnya.
Dari definisi itu
dapat disimpulkan bahwa sewa menyewa adalah suatu perjanjian atau kesepakatan
di mana penyewa harus membayarkan atau meberikan imbalan atas manfaat dari
benda atau barabg yang dimiliki oleh pemilik barang yang dipinjamkan.
Sewa menyewa sangat
dianjurkan dalam Islam karena menggandung unsure tolong menolong dalam kebaikan
antar sesame mausia. Sewa menyewa di sahkan syari’at berdasarkan al-Qur’an,
sunnah dan ijma’
1. Al-Qashash
: 26
ôMs9$s% $yJßg1y÷nÎ) ÏMt/r'¯»t çnöÉfø«tGó$# ( cÎ) uöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ
Artinya
: salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling
baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya".
2.
Ath-tholaq : 6
4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& (
Artinya
: kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya,
3.
Sabda Nabi :
عَلَى بِمَا الأَرْضَ نُكْرِى كُنَّا قَالَ سَعْدٍ عَنْ الْمُسَيَّبِ بْنِ سَعِيدِ عَنْ
م
ص اللَّهِ
رَسُولُ فَنَهَانَا
مِنْهَا بِالْمَاءِ
سَعِدَ وَمَا
الزَّرْعِ مِنَ
السَّوَاقِى
فِضَّةٍ أَوْ
بِذَهَبٍ نُكْرِيَهَا
أَنْ وَأَمَرَنَا
ذَلِكَ عَنْ
Artinya : Diriwayatkan
dari Sa’id bin Musayyib dan Sa’ad bin Abi Waqqash bahwa dia berkata : “Kami
menyewakan tanah dengan tanaman yang keluar darinya (maksudnya harga sewa
adalah hasil dari tanah tertentu dari tanah yang disewakan) dan dengan bagian
yang dialiri air (maksudnya harga sewa adalah hasil dari tanah yang dialiri
air). Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk
melakukan hal itu dan beliu memerintahkan kepada kami untuk menyewakannya
dengan emas atau perak
4.
Bukhari
Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda,
ه أجْرَالحِجامَ وأعْطَى إحْتَجَمَ
“Berbekamlah
kalian dan berikan upah bekamnya kepada tukang bekam tersebut”
b.
Ju’alah
1.
Pengertian Ju’alah
Ju’alah artinya janji hadiah atau
upah. berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang
tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Secara
terminologi fiqih berarti “suatu Iltizam (tanggung jawab) dalam bentuk janji
memberikan imbalan upah tertentu secara sukarela terhadap orang yang berhasil
melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan
atau dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan”. Jadi Ju'alah adalah suatu
kontrak di mana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua
atas pelaksanaan suatu tugas/ pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk
kepentingan pihak pertama.
2.
Dasar Hukum Ju’alah
Mazhab Maliki, Syafi'i dan
Hanbali berpendapat bahwa Ju'alah boleh dilakukan berdasarkan Firman Allah swt
dalam Q.S. Yusuf ayat 72 :
(`yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9Ïèt/
Artinya
“Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat)
beban unta”
Hadis riwayat Imam al-Bukhari
dari Abu Sa’id al-Khudri: “Sekelompok sahabat Nabi SAW melintasi salah satu
kampung orang Arab. Penduduk kampung tersebut tidak menghidangkan makanan
kepada mereka. Ketika itu, kepala kampung disengat kalajengking. Mereka lalu
bertanya kepada para sahabat: ’Apakah kalian mempunyai obat, atau adakah yang
dapat meruqyah (menjampi)?’ Para sahabat menjawab: ’Kalian tidak menjamu kami;
kami tidak mau mengobati kecuali kalian memberi imbalan kepada kami.’ Kemudian
para penduduk berjanji akan memberikan sejumlah ekor kambing. Seorang sahabat
membacakan surat al-Fatihah dan mengumpulkan ludah, lalu ludah itu ia
semprotkan ke kepala kampung tersebut; ia pun sembuh. Mereka kemudian
menyerahkan kambing. Para sahabat berkata, 'Kita tidak boleh mengambil kambing
ini sampai kita bertanya kepada Nabi SAW.' Selanjutnya mereka bertanya kepada
beliau. Beliau tertawa dan bersabda,Tahukah anda sekalian, bahwa itu adalah
ruqyah! Ambillah kambing tersebut dan berilah saya bagian.'" (HR. Bukhari).
3. Rukun
Ju’alah
1. Sighot
2. Ja’il adalah pihak yang
berjanji akan memberikan imbalan tertentu atas pencapaian hasil pekerjaan
(natijah) yang ditentukan
3. Maj’ul
lah adalah pihak yang melaksanakan Ju’alah
4. maj’ul
‘alaih adalah pekerjaan yang ditugaskan
5. Upah
/ hadiah/ fee
4. Syarat
Ju’alah
Orang yang menjanjikan upah atau
hadiah harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu: baligh,
berakal dan cerdas. Dengan demikian anak-anak, orang gila dan orang yang berada
dalam pengampuan tidak sah melakukan Ju’alah.
Upah atau hadiah yang
dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang berharga atau bernilai dan jelas
juga jumlahnya. Harta yang haram tidak dipandang sebagai harta yang bernilai
(Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali). Tidak boleh ada syarat imbalan diberikan
di muka (sebelum pelaksanaan Ju’alah).
Ijab harus disampaikan dengan
jelas oleh pihak yang menjanjikan upah walaupun tanpa ucapan Qabul dari pihak
yang melaksanakan pekerjaan. Antara pekerjaan dan batas waktu yang ditetapkan
untuk menyelesaikannya boleh digabungkan seperti seseorang berkata,
“barangsiapa dapat membuat baju dalam satu hari maka ia dapatkan bayaran
sekian” jika ada orang yang dapat membuat baju dalam satu hari maka ia berhak
mendapatkan komisi/fee.
Pekerjaan yang diharapkan
hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas dan boleh dimanfaatkan menurut
hukum syara’.
5. Persyaratan
Ju’alah
Agar pelaksanaan Ju’alah
dipandang sah, harus memenuhi syarat-syarat:
a). Orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu: baligh, berakal dan cerdas. Dengan demikian anak-anak, orang gila dan orang yang berada dalam pengampuan tidak sah melakukan Ju’alah.
a). Orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu: baligh, berakal dan cerdas. Dengan demikian anak-anak, orang gila dan orang yang berada dalam pengampuan tidak sah melakukan Ju’alah.
b).
Upah atau hadiah yang dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang bernilai harta
dan jelas juga jumlahnya. Harta yang haram tidak dipandang sebagai harta yang
bernilai (Madzhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali).
c).
Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas dan
boleh dimanfaatkan menurut hukum syara’.
5.
Hutang
. 1.
Pengertian Hutang Piutang
Hutang
piutang adalah menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan perjanjian akan
mengembalikan dengan jumlah yang sama.
2.Hukum
Hutang Piutang
Hukum
hutang piutang adalah sunnah bagi yang ,memberi hutang sebagaimana firman Alloh
dalam surat al-Maidah ayat 2.
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
w
(#q=ÏtéB
uȵ¯»yèx©
«!$#
wur
tök¤¶9$#
tP#tptø:$#
wur
yôolù;$#
wur
yÍ´¯»n=s)ø9$#
Iwur
tûüÏiB!#uä
|Møt7ø9$#
tP#tptø:$#
tbqäótGö6t
WxôÒsù
`ÏiB
öNÍkÍh5§
$ZRºuqôÊÍur
4
#sÎ)ur
÷Läêù=n=ym
(#rß$sÜô¹$$sù
4
wur
öNä3¨ZtBÌøgs
ãb$t«oYx©
BQöqs%
br&
öNà2r|¹
Ç`tã
ÏÉfó¡yJø9$#
ÏQ#tptø:$#
br&
(#rßtG÷ès?
¢
(#qçRur$yès?ur
n?tã
ÎhÉ9ø9$#
3uqø)G9$#ur
(
wur
(#qçRur$yès?
n?tã
ÉOøOM}$#
Èbºurôãèø9$#ur
4
(#qà)¨?$#ur
©!$#
(
¨bÎ)
©!$#
ßÏx©
É>$s)Ïèø9$#
ÇËÈ
2.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia
dan keredhaan dari Tuhannya, dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji,
Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu
kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu
berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat
siksa-Nya.
3.
Syarat-syarat dan Rukun
Hutang Piutang
Ada
tiga syarat dan rukun hutang piutang yaitu :
•
Lafadz
•
Orang yang berehutang dan orang yang berhutang
•
Uang atau barang yang dipiutangkan
4.
Penambahan Jumlah Nilai Pengembalian
Hutang
Bila
orang yang berhutang itu memberikan kelebihannya membayar hutang tanpa ada
perjanjian penambahan pada saat akad maka penambahan itu boleh diterima. Akan
tetapi bila tambahan itu merupakan kehendak dari orang yang berpiutang yang dicantumkan
pada perjanjian sewaktu akad maka tidak halal atas yang berpiutang untuk
mengambilnya.
5.
Memperlambat Membayar
Hutang
Orang
yang berhutang wajib segera membayar hutangnya bila telah sampai pada waktu
yang ditentukan dan dia mampu membayarnya. Sekiranya orang yang berhutang itu
telah mampu untuk mengembalikan maka haram baginya untuk memperlambat atau
menunda-nunda pembayaran hutangnya
6.
Jaminan
(Rahn)
Secara etimologi, kata ar-rahn
berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad ar-rahn dalam istilah hukum positif
disebut dengan barang jaminan/agunan.
Sedangkan menurut istilah ar-rahn
adalah Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat
mengikat
Definisi
ini mengandung pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan (agunan) utang
itu hanya yang bersifat materi; tidak termasuk manfaat sebagaimana yang
dikemukakan ulama madzhab Maliki. Barang jaminan itu boleh dijual apabila utang
tidak dapat dilunasi dalam waktu yang disepakati kedua belah pihak.
Para
ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan dalam Islam berdasarkan
al-Qur'an dan sunnah Rasul. Dalam surat al-Baqarah, 2: 283:
*
bÎ)ur
óOçFZä.
4n?tã
9xÿy
öNs9ur
(#rßÉfs?
$Y6Ï?%x.
Ö`»ydÌsù
×p|Êqç7ø)¨B
(
÷bÎ*sù
z`ÏBr&
Nä3àÒ÷èt/
$VÒ÷èt/
Ïjxsãù=sù
Ï%©!$#
z`ÏJè?øt$#
¼çmtFuZ»tBr&
È,Guø9ur
©!$#
¼çm/u
3
wur
(#qßJçGõ3s?
noy»yg¤±9$#
4
`tBur
$ygôJçGò6t
ÿ¼çm¯RÎ*sù
ÖNÏO#uä
¼çmç6ù=s%
3
ª!$#ur
$yJÎ/
tbqè=yJ÷ès?
ÒOÎ=tæ
ÇËÑÌÈ
Artinya : jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang).
akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan
persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Rahn dinilai sah menurut
hukum Islam, apabila telah memenuhi rukun dan syarat sebagai berikut:
a.
Syarat yang terkait dengan
orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum,
menurut jumhur ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal.
b.
Syarat al-marhum bihi
(utang) adalah:
(1)
merupakan hak yang wajib
dikembalikan kepada orang tempat berutang. (2) Utang itu boleh dilunasi dengan
agunan itu
(2)
Utang itu jelas dan
tertentu.
c.
Syarat al-marhun (barang
yang dijadikan agunan), menurut para pakar fiqh, adalah:
(1) barang jaminan (agunan)
itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang
(2) barang jaminan itu
bernilai dan dapat dimanfaatkan
(3) barang jaminan itu
jelas dan tertentu
(4) agunan itu milik sah
orang yang berutang
(5) barang jaminan itu tidak
terkait dengan hak orang lain
(6) barang jaminan itu
merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat, dan
(7) barang jaminan itu
boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya
7.
Hiwalah
1.
Pengertian Hiwalah
Menurut bahasa hiwalah berarti
memindahkan. Sedangkan menurut istilah hiwalah berarti memindahkan hutang dari
seseorang kepada orang lain atau pelimpahan tanggungjawab membayar hutang dari
seseorang kepada orang lain.
2.
Hukum Hiwalah
Contoh hiwalah adalah si A mempunyai
hutang kepada B. karena satu hal si A melimpahkan tanggungjawab hutang kepasa C
supaya membayarkan hutangnya kepada B. memindahkan hutang dengan cara tersebut
di atas tidak dilarang oleh agama, dengan syarat keadaan C mampu untuk
membayarnya dan sudah disetujui oleh A dan B.
3.
Rukun Hiwalah
Rukun hiwalah ada 4 yaitu :
• Muhil
(orang yang berhutang)
•
Muhal (orang yang berpiutang)
•
Muhal alihi (orang yang menanggung hutang)
•
Sighat (lafadz akad)
4.
Syarat-Syarat Sah Hiwalah
· Atas
dasar persetujuan antara pihak yang berhutang dengan pihak yang berpiutang
· Hutang yang akan dialihkan tanggungjawabnya
sesuai jumlahhnya dengan piutang yang dipunyai pada orang tempat mengalihkan
tanggungjawabnya
· Pengalihan hutang yang dipunyai orang yang
berhutang itu diketahui oleh orang yang berpiutang padanya.
.
8.
Daman
(Kafalah)
Kafalah menurut etimologi berarti
al-dhamanah, hamalah , dan za’aamah, ketiga istilah tersebut memilki arti yang
sama, yakni menjamin atau menanggung. Sedangkan menurut terminologi Kafalah
adalah “Jaminan yang diberikan oleh kafiil (penanggung) kepada pihak ketiga
atas kewajiban/prestasi yang harus ditunaikan pihak kedua (tertanggung)”
Kafalah diisyaratkan oleh Allah SWT.
pada Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 72
(#qä9$s%
ßÉ)øÿtR
tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$#
`yJÏ9ur uä!%y`
¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q
9Ïèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOÏãy ÇÐËÈ
Artinya : penyeru-penyeru itu berkata:
"Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan
memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin
terhadapnya".
dan
juga hadis Nabi saw :
“Pinjaman
hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar” (H.R. Abu Dawud).
Kafalah
dinilai sah menurut hukum Islam kalau memenuhi rukun dan syarat , yaitu:
1.
Kafiil ( orang yang
menjamin), disyaratkan sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan harta
(mahjur) dan dilakukan dengan kehendaknya sendiri.
2.
Makful lah (orang yang berpiutang/berhak
menerima jaminan), syaratnya ialah diketahui oleh orang yang menjamin, ridha
(menerima), dan ada ketika terjadinya akad menjaminan.
3.
Makful ‘anhu (orang yang
berutang/ yang dijamin), disyaratkan diketahui oleh yang menjamin, dan masih
hidup (belum mati).
4.
Madmun bih atau makful bih
(hutang/kewajiban yang dijamin), disyaratkan; merupakan hutang/prestasi yang
harus dibayar atau dipenuhi, menjadi tanggungannya ( makful anhu), dan bisa
diserahkan oleh penjamin (kafiil).
5.
Lafadz ijab qabul,
disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digantungkan kepada
seauatu dan tidak berarti sementara.
Kafalah dibagi menjadi dua bagian, yaitu kafalah dengan
jiwa (kafalah bi al-nafs) dan kafalah dengan harta (kafalah bi al-maal).
Kafalah dengan jiwa dikenal pula dengan Kafalah bi al-Wajhi, yaitu adanya
kesediaan pihak penjamin (al-Kafil, al-Dhamin atau al-Za’im) untuk menghadirkan
orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (Makful lah).
Kafalah yang kedua ialah kafalah harta, yaitu kewajiban
yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan)
berupa harta. Kafalah harta ada tiga macam, yaitu: pertama, kafalah bi al-Dayn,
yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi beban orang lain, kedua, kafalah
dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang
ada di tangan orang lain, seperti mengembalikan barang yang di-ghashab dan
menyerahkan barang jualan kepada pembeli, ketiga, kafalah dengan ‘aib,
maksudnya adalah jaminan bahwa jika barang yang dijual ternyata mengandung
cacat, karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-hal lainnya, maka
penjamin (pembawa barang) bersedia memberi jaminan kepada penjual untuk
memenuhi kepentingan pembeli (mengganti barang yang cacat tersebut).
IV. PENUTUP
Demikianlah makalah yang berjudul
kitab-kitab fiqih tentang Muamalah ini kami buat. Kami menyadari bahwa tulisan
ini jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu kami mengharap saran dan kritik
dari bapak dosen yang bersifat konstruktif demi sempurnanya tulisan ini. Dan
kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-rekan atas
partisipasinya dalam pembuatan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kami dan para
pembaca yang budiman.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Author, Nailul.
1990, Musaqah, Mura’ah, Dan Mukhabarah.
http://nailulauthor99.blogspot.com/p/musaqah-muzaraah-dan-mukhabarah.html.
diunduh 13 april / 19.30
·
Jalil, Ma’ruf
Abdul. Pengertian Muzara’ah. http://alislamu.com/muamalah/11-jual-beli/264-bab-mazaraah.html.
di unduh 13 april 2013 / 19.40
·
Hendi, Suhendi.
2010. Jual Beli, Khiyar Dan Riba. http://mayapas.blogspot.com/2013/02/jual-beli-khiyar-dan-riba-makalah.html
diunduh 13 april 2013 / 19.50
Su’uaidi, Qamar.
2003. Hukum Jual Beli dalam Islam. http://www.salafy.or.id/print.php?idartikel=66. Diunduh 13 april
2013/ 19.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa komentar dan masukan anda dengan blog ini ?