Pages

Minggu, 21 Juli 2013

fiqih muamalah I


KITAB KITAB FIQIH TENTANG MUAMALAT
I.              Pendahuluan
               Pada dasarnya Allah telah meneapkan semua hokum dari segala sesuatu itu di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kemudian para ahli ushhul fiqih menggali pokok-pokok pemahaman dari teks-teks yang ada pada keduanya. Dengan memanfaatkan jeri payah para ahli ushul fiqih tersebut, para ahli fiqh kemudian menjelaskan hokum dari segala sesuatu itu. Sehingga penjeasan-penjelasan tersebut tertuang dalam kitab-kitab fiqihbyang dijadikan pedoman Ulama untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi hingga saat ini.
                Sudah kita ketahui pengertian fiqih menurut bahyhasa berarti faham atau tahu. Sedang menurut istilah, fiqih berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalil tafsil (terperinci dan jelas).
               Dengan demikian bahwasanya kita sebagai muslim diwajibkan mempelajari ilmu yang akan dilakukan, yaitu ilmu ilmu Ushuludin dan ilmu Fiqih, yang ada hubungannya dengan ihwal manusia. Seperti kufur, iman, shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya.

II.           Permasalahan
Dari uraian tersebut dapat di ambil permasalahan sebagai berikut :
a.       Rukun sahnya jual beli dan khiyar
b.      Membatalkan jual beli, hukumnya rira dan salam
c.       Sirkah ( perseroan ), qirad, musarakah, muzara’ah
d.      Menyewa, jialah, hutang jaminan, hiwalah, daman

III.        Pembahasan Pokok Materi
A.    Rukun Sahnya Jual Beli Dan Khiyar
         Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al’ bai’ah, At-Tijarah, dan al- Mubadalah sebagai mana firman Allah S.W.T :
 šcqã_ötƒ Zot»pgÏB `©9 uqç7s? 
Artinya : “ mereka itu mengharapkan tijarah (perdagangan ) yang tidak akan rugi (QS. Fathir : 29)
         Jual beli dalam bahsa arab terdiri dari dua kata yang mengandung makna berlawanan yaitu Al-Ba’I yang artinya jual dan Asy Syira’a yang artinya beli. Dengan demikian jual beli adalah pernukaran harta (dalam pengertian luas) atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang) yang dilakukan antara dua pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka sama suka.
        
         Mengenai rukun jual beli, para ulama memiliki perpedaan pendapat. Menurut mahzab Hanafi rukun jual beli hanya ijab qobul saja. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli hanyalah kerelaan antara dua belah pihak untuk berjual beli. Menurut jumhur ulama rukun jual beli ada empat ;
a.       Orang yang berakad (penjual dan pembeli)
b.      Sighat (lafal ijab qobul)
c.       Benda-benda yang  diperjual belikan
d.      Ada nilai tukar pengganti barang
   Ketika melakukan sebuah akad atau perjanjian dalam jual beli tekadang perjanjian itu diselimuti beberapa cacat yang bisa menghilangka kerelaan sebagian pihak, atau menjadikan perjanjian itu tidak memiliki sandaran  ilmu yang benar. Maka pada saat itu pihak yang dirugikan berhak membatalkan perjanjian.

B.     Membatal Jual Beli, Hukumnya,
         Ketika melakukan sebuah akad atau perjanjian dalam jual beli tekadang perjanjian itu diselimuti beberapa cacat yang bisa menghilangka kerelaan sebagian pihak, atau menjadikan perjanjian itu tidak memiliki sandaran  ilmu yang benar. Maka pada saat itu pihak yang dirugikan berhak membatalkan perjanjian.
        
         Dalam akad jual beli , dalam islam dibolehkan untuk memilih, apakah akan meneruskan jual beli atau akan membatalkannya. Bila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu benda yang dipejual belikan, maka yang dibenarkan adalh kata-kata yang punya barang. Bila diantara keduannysa tidak ada saksi dan bukti lainnya. Rasulullah SAW bersabda : “ bila penjual dan pembeli berselisih dan antara keduannya tak ada saksi, maka yang dibenarkan adalah perkataan yang punya barang atau dibatalkan” (HR.Abu Dawud)

C.    Syirkah (Perseroan) , Qirad, Musaqah Dan Muzara’ah
a.      Syirkah (Perseroan)
         Kata syirkah dlam bahsa arab berasal dari kaata syarika (fi;il madhi) yasyraku (fi’il mudhaorik), syarikan/ syirkatan/ syarikatan ( masdar/ kata dasar) ; artinya menjadi sekutu atau serikat  ( kmaus al- Munawir, hlm 765) kata dasrnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah, akan tetapi menurt al- jaziri dalam al-Fiqh ‘ala al- Madzahib al- Arba’ah , 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah) . menurut arti asli bahasa arab ( makna etimologi) syirkah berarti  mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat dibedakan lagi satu bagian dengna bagian lainnya ( An- Nabhani, 1990;146)

         Adapun menurut makna syari’at , syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ( An- Nabhani, 1990;146). Syirkah hukumnya jaiz ( mubah) , berdasarkan dalil hadis Nabi Shalallahu alaihi wassalam berupa taqrir ( pengakuan) beliau terhadap syirkah, pada saat beliu diutus sebagai nabi, oaring –orang pada saat itu telah bermuamalah dngan cara bersyirkah dan Nabi Shalallahu alaihi wassalim membenarkannya. Nabi shalallahu alaihi wassalam bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah RA: Allah Azza wa Jalla telah berfirman : aku adalh pihak ketiga dari dari dua belah ihak yang bersyirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya, kalau salah satunya berkhianat aku keluar dari keduannya

         Adapun macam-macam syirkah adalah sebagai berikut :
1.      Syirkah milk yaitu : dua orang atau lebih memilikan suatu benda kepada yang lainnya tanpa ada akad syirkah
2.      Syirkah uqud yaitu : akad yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk berserikat dalam harta dan keuntungan.

   Rukun syirkah yang pokok ada tiga, yaitu:
1.    Akad (ijab qobul)
2.    Dua pihak yang berakad (aqidain) syaratnya harus memiliki kacakapan (ahliyyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta)
3.    Obyek akad (mahal) disebut juga ma;qud alayhi yang mencakub pekerjaan (amal) dan/atau modal (mal). (al-Jaziri, 1996: 69; al- Khayyab, 1982:72;1989:13)
   Adapun syarat sah akad dada dua yaitu ;
1.    Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya jual bali
2.    Obyak akadnya dapat diwakilkan (wakalah) agar keuntungn syirkah menjadi hak bersama diantara syarik (mitra Usaha). (an-Nabhani, 1990: 146)

   Keberadaan syirkah saat pada zaman sekarang bisa dicontohkan seperti Firma (FA) persekutuan Comanditer (CV) , perseroan Terbatas ( PT)

b.      Musaqoh Dan Muzara’ah
               Musaqoh merupakan kerjasama antara pemilik kebun atau tanaman dan pengelola atau penggarap untuk memelihara dan menggarap kebun atau tanaman dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan  bersama dan perjanjian itu disebutkan dalam aqad.

               Asas hukum musaqah ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Ibnu Amr RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :

يَعْتَمِلُوهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَأَنَّ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى دَفَعَ إِلَى يَهُودِ خَيْبَرَ نَخْلَ خَيْبَرَ وَأَرْضَهَا عَلَى أَنْ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَطْرَ ثَمَرَتِهَا
Artinya : “bahwa rasul menyerahkan tahan khaibar itu kepada yahudi untuk diolah dan modal dari hartanya penghasilan separuhnya untuk Nabi”

               Sedangkan muzara’ah dan mukhabarah mempunyai pengertian yang sama, yaitu kejasama antara pemilik sawah atau tanah dengan penggarapnya, namaun yang dipersoalkan di sini hanya mengenai bibit pertanian itu. mukhabarah bibitnya berasala dari pemilik lahan, sedangkan muzara’ah bibitnya ddari petani.

               Dasar hokum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hokum mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan muslim, dari Abu Hurairah RA

 Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم (من كانت له أرض فليزرعها أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه )
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw (barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada saudaranya jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.” (Hadits Riwayat Muslim)

               Aqad musaqah , muzara’ah dan mukhabarah telah disebutkan dalam hadis yang menyatakan bahwa aqad tersebut di perbolehkan asalkan dengan kesepatakan bersama antara kedua belah pihak dengan perjanjian bagi hasil sebanyak separo dari hasil tanaman atau buahnya,

               Dalam kaitanya hokum tersebut , jumhur ulama’ membolehkan aqad musaqah, muzara’ah dan mukhabarah karena berdasarkan pratik nabi dan juga pratek sahabat nabi yang baisa melakukan aqad bagi hasil tanaman, juga karean aqad ini mengguntungkan kedua belah pihak, mengguntungkan karena bagi pemilik tanah/ tanaman terkadang tidak mempunyai waktu dalam mengelola tanah atau menanam tanaman. Sedangkan orang yang mempunyai keahlian dalam hal mengolah tanah terkadang tidak punya modal berupa uang atau tanah, maka dengan aqad bagi hasil tersebut menguntungkan kedua belah pihak, dan tidak ada yang diinginkan.

D.    Menyewa , Jia’alah, Hutang, Jaminan, Hiwalah, Daman.
a.      Menyewa
 secara etimologi, kata ijarah berasal dari kata ajru yang berarti “iwadhu (pengganti )  . oleh karena itu tsawab (pahala) disebut juag dengan ajru (upah). Dalam syari’at Islam sewa menyewa dinamakan ijarah yaitu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi.
Kalau dalam kitab fiqh kata ijarah selalu diterjemahkan dengan “sewa menyewa” maka hal tersebut jangan diartikan menyewa barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi dipahami dalam arti luas. Dalam arti luas ijarah bermakna suatu kad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Jadi menjual manfaatnya bukan barangnya.
Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa sewa menyewa adalah suatu perjanjian atau kesepakatan di mana penyewa harus membayarkan atau meberikan imbalan atas manfaat dari benda atau barabg yang dimiliki oleh pemilik barang yang dipinjamkan.
Sewa menyewa sangat dianjurkan dalam Islam karena menggandung unsure tolong menolong dalam kebaikan antar sesame mausia. Sewa menyewa di sahkan syari’at berdasarkan al-Qur’an, sunnah dan ijma’
1.      Al-Qashash : 26
ôMs9$s% $yJßg1y÷nÎ) ÏMt/r'¯»tƒ çnöÉfø«tGó$# ( žcÎ) uŽöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ  
Artinya : salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".
2.      Ath-tholaq : 6
4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& (  
Artinya :  kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya,
3.      Sabda Nabi :

عَلَى بِمَا الأَرْضَ نُكْرِى كُنَّا قَالَ سَعْدٍ عَنْ الْمُسَيَّبِ بْنِ سَعِيدِ عَنْ
م ص اللَّهِ رَسُولُ فَنَهَانَا مِنْهَا بِالْمَاءِ سَعِدَ وَمَا الزَّرْعِ مِنَ السَّوَاقِى
فِضَّةٍ  أَوْ بِذَهَبٍ نُكْرِيَهَا أَنْ وَأَمَرَنَا ذَلِكَ عَنْ
Artinya : Diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyib dan Sa’ad bin Abi Waqqash bahwa dia berkata : “Kami menyewakan tanah dengan tanaman yang keluar darinya (maksudnya harga sewa adalah hasil dari tanah tertentu dari tanah yang disewakan) dan dengan bagian yang dialiri air (maksudnya harga sewa adalah hasil dari tanah yang dialiri air). Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk melakukan hal itu dan beliu memerintahkan kepada kami untuk menyewakannya dengan emas atau perak
4.      Bukhari Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda,
ه أجْرَالحِجامَ وأعْطَى إحْتَجَمَ
“Berbekamlah kalian dan berikan upah bekamnya kepada tukang bekam tersebut”


b.      Ju’alah
1.      Pengertian Ju’alah
               Ju’alah artinya janji hadiah atau upah. berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Secara terminologi fiqih berarti “suatu Iltizam (tanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan upah tertentu secara sukarela terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan”. Jadi Ju'alah adalah suatu kontrak di mana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/ pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.

2.      Dasar Hukum Ju’alah
               Mazhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali berpendapat bahwa Ju'alah boleh dilakukan berdasarkan Firman Allah swt dalam Q.S. Yusuf ayat 72 :
(`yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9ŽÏèt/ 
Artinya “Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta”

               Hadis riwayat Imam al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri: “Sekelompok sahabat Nabi SAW melintasi salah satu kampung orang Arab. Penduduk kampung tersebut tidak menghidangkan makanan kepada mereka. Ketika itu, kepala kampung disengat kalajengking. Mereka lalu bertanya kepada para sahabat: ’Apakah kalian mempunyai obat, atau adakah yang dapat meruqyah (menjampi)?’ Para sahabat menjawab: ’Kalian tidak menjamu kami; kami tidak mau mengobati kecuali kalian memberi imbalan kepada kami.’ Kemudian para penduduk berjanji akan memberikan sejumlah ekor kambing. Seorang sahabat membacakan surat al-Fatihah dan mengumpulkan ludah, lalu ludah itu ia semprotkan ke kepala kampung tersebut; ia pun sembuh. Mereka kemudian menyerahkan kambing. Para sahabat berkata, 'Kita tidak boleh mengambil kambing ini sampai kita bertanya kepada Nabi SAW.' Selanjutnya mereka bertanya kepada beliau. Beliau tertawa dan bersabda,Tahukah anda sekalian, bahwa itu adalah ruqyah! Ambillah kambing tersebut dan berilah saya bagian.'" (HR. Bukhari).

3.      Rukun Ju’alah
1. Sighot
2. Ja’il adalah pihak yang berjanji akan memberikan imbalan tertentu atas pencapaian hasil pekerjaan (natijah) yang ditentukan
3. Maj’ul lah adalah pihak yang melaksanakan Ju’alah
4. maj’ul ‘alaih adalah pekerjaan yang ditugaskan
5. Upah / hadiah/ fee

4.      Syarat Ju’alah
               Orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu: baligh, berakal dan cerdas. Dengan demikian anak-anak, orang gila dan orang yang berada dalam pengampuan tidak sah melakukan Ju’alah.
               Upah atau hadiah yang dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang berharga atau bernilai dan jelas juga jumlahnya. Harta yang haram tidak dipandang sebagai harta yang bernilai (Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali). Tidak boleh ada syarat imbalan diberikan di muka (sebelum pelaksanaan Ju’alah).

               Ijab harus disampaikan dengan jelas oleh pihak yang menjanjikan upah walaupun tanpa ucapan Qabul dari pihak yang melaksanakan pekerjaan. Antara pekerjaan dan batas waktu yang ditetapkan untuk menyelesaikannya boleh digabungkan seperti seseorang berkata, “barangsiapa dapat membuat baju dalam satu hari maka ia dapatkan bayaran sekian” jika ada orang yang dapat membuat baju dalam satu hari maka ia berhak mendapatkan komisi/fee.

               Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas dan boleh dimanfaatkan menurut hukum syara’.

5. Persyaratan Ju’alah
                        Agar pelaksanaan Ju’alah dipandang sah, harus memenuhi syarat-syarat:
a). Orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu: baligh, berakal dan cerdas. Dengan demikian anak-anak, orang gila dan orang yang berada dalam pengampuan tidak sah melakukan Ju’alah.
b). Upah atau hadiah yang dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang bernilai harta dan jelas juga jumlahnya. Harta yang haram tidak dipandang sebagai harta yang bernilai (Madzhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali).
c). Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas dan boleh dimanfaatkan menurut hukum syara’.

5.      Hutang
. 1. Pengertian Hutang Piutang
Hutang piutang adalah menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan perjanjian akan mengembalikan dengan jumlah yang sama.

2.Hukum Hutang Piutang
Hukum hutang piutang adalah sunnah bagi yang ,memberi hutang sebagaimana firman Alloh dalam surat al-Maidah ayat 2.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#q=ÏtéB uŽÈµ¯»yèx© «!$# Ÿwur tök¤9$# tP#tptø:$# Ÿwur yôolù;$# Ÿwur yÍ´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |MøŠt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6tƒ WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§ $ZRºuqôÊÍur 4 #sŒÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù 4 Ÿwur öNä3¨ZtB̍øgs ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r|¹ Ç`tã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#rßtG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ  
2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya, dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.

3.      Syarat-syarat dan Rukun Hutang Piutang
Ada tiga syarat dan rukun hutang piutang yaitu :
• Lafadz
• Orang yang berehutang dan orang yang berhutang
• Uang atau barang yang dipiutangkan

4.      Penambahan Jumlah Nilai Pengembalian Hutang
Bila orang yang berhutang itu memberikan kelebihannya membayar hutang tanpa ada perjanjian penambahan pada saat akad maka penambahan itu boleh diterima. Akan tetapi bila tambahan itu merupakan kehendak dari orang yang berpiutang yang dicantumkan pada perjanjian sewaktu akad maka tidak halal atas yang berpiutang untuk mengambilnya.

5.      Memperlambat Membayar Hutang
Orang yang berhutang wajib segera membayar hutangnya bila telah sampai pada waktu yang ditentukan dan dia mampu membayarnya. Sekiranya orang yang berhutang itu telah mampu untuk mengembalikan maka haram baginya untuk memperlambat atau menunda-nunda pembayaran hutangnya
6.      Jaminan (Rahn)
               Secara etimologi, kata ar-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad ar-rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang jaminan/agunan. 
               Sedangkan menurut istilah ar-rahn adalah Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat
               Definisi ini mengandung pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan (agunan) utang itu hanya yang bersifat materi; tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan ulama madzhab Maliki. Barang jaminan itu boleh dijual apabila utang tidak dapat dilunasi dalam waktu yang disepakati kedua belah pihak.
               Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan dalam Islam berdasarkan al-Qur'an dan sunnah Rasul. Dalam surat al-Baqarah, 2: 283: 
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ  
Artinya : jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

                    Rahn dinilai sah menurut hukum Islam, apabila telah memenuhi rukun dan syarat sebagai berikut:
a.       Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum, menurut jumhur ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal.

b.      Syarat al-marhum bihi (utang) adalah:
(1)     merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada orang tempat berutang. (2) Utang itu boleh dilunasi dengan agunan itu
(2)     Utang itu jelas dan tertentu.

c.       Syarat al-marhun (barang yang dijadikan agunan), menurut para pakar fiqh, adalah:
(1) barang jaminan (agunan) itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang
(2) barang jaminan itu bernilai dan dapat dimanfaatkan
(3) barang jaminan itu jelas dan tertentu
(4) agunan itu milik sah orang yang berutang
(5) barang jaminan itu tidak terkait dengan hak orang lain
(6) barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat, dan
(7) barang jaminan itu boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya

7.      Hiwalah
1.      Pengertian Hiwalah
         Menurut bahasa hiwalah berarti memindahkan. Sedangkan menurut istilah hiwalah berarti memindahkan hutang dari seseorang kepada orang lain atau pelimpahan tanggungjawab membayar hutang dari seseorang kepada orang lain. 
2.      Hukum Hiwalah
         Contoh hiwalah adalah si A mempunyai hutang kepada B. karena satu hal si A melimpahkan tanggungjawab hutang kepasa C supaya membayarkan hutangnya kepada B. memindahkan hutang dengan cara tersebut di atas tidak dilarang oleh agama, dengan syarat keadaan C mampu untuk membayarnya dan sudah disetujui oleh A dan B.

3.      Rukun Hiwalah
         Rukun hiwalah ada 4 yaitu :
• Muhil (orang yang berhutang)
• Muhal (orang yang berpiutang)
• Muhal alihi (orang yang menanggung hutang)
• Sighat (lafadz akad)

4.      Syarat-Syarat Sah Hiwalah
·  Atas dasar persetujuan antara pihak yang berhutang dengan pihak yang berpiutang
·   Hutang yang akan dialihkan tanggungjawabnya sesuai jumlahhnya dengan piutang yang dipunyai pada orang tempat mengalihkan tanggungjawabnya
·   Pengalihan hutang yang dipunyai orang yang berhutang itu diketahui oleh orang yang berpiutang padanya.

.
8.      Daman (Kafalah)
        Kafalah menurut etimologi berarti al-dhamanah, hamalah , dan za’aamah, ketiga istilah tersebut memilki arti yang sama, yakni menjamin atau menanggung. Sedangkan menurut terminologi Kafalah adalah “Jaminan yang diberikan oleh kafiil (penanggung) kepada pihak ketiga atas kewajiban/prestasi yang harus ditunaikan pihak kedua (tertanggung)”
        Kafalah diisyaratkan oleh Allah SWT. pada Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 72
(#qä9$s% ßÉ)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9ŽÏèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOŠÏãy ÇÐËÈ  
Artinya : penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".
dan juga hadis Nabi saw :
“Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar” (H.R. Abu Dawud).
                                    Kafalah dinilai sah menurut hukum Islam kalau memenuhi rukun dan syarat , yaitu:
1.      Kafiil ( orang yang menjamin), disyaratkan sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan harta (mahjur) dan dilakukan dengan kehendaknya sendiri.
2.       Makful lah (orang yang berpiutang/berhak menerima jaminan), syaratnya ialah diketahui oleh orang yang menjamin, ridha (menerima), dan ada ketika terjadinya akad menjaminan.
3.      Makful ‘anhu (orang yang berutang/ yang dijamin), disyaratkan diketahui oleh yang menjamin, dan masih hidup (belum mati).
4.      Madmun bih atau makful bih (hutang/kewajiban yang dijamin), disyaratkan; merupakan hutang/prestasi yang harus dibayar atau dipenuhi, menjadi tanggungannya ( makful anhu), dan bisa diserahkan oleh penjamin (kafiil).
5.      Lafadz ijab qabul, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digantungkan kepada seauatu dan tidak berarti sementara.

          Kafalah dibagi menjadi dua bagian, yaitu kafalah dengan jiwa (kafalah bi al-nafs) dan kafalah dengan harta (kafalah bi al-maal). Kafalah dengan jiwa dikenal pula dengan Kafalah bi al-Wajhi, yaitu adanya kesediaan pihak penjamin (al-Kafil, al-Dhamin atau al-Za’im) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (Makful lah).

          Kafalah yang kedua ialah kafalah harta, yaitu kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan) berupa harta. Kafalah harta ada tiga macam, yaitu: pertama, kafalah bi al-Dayn, yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi beban orang lain, kedua, kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang ada di tangan orang lain, seperti mengembalikan barang yang di-ghashab dan menyerahkan barang jualan kepada pembeli, ketiga, kafalah dengan ‘aib, maksudnya adalah jaminan bahwa jika barang yang dijual ternyata mengandung cacat, karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-hal lainnya, maka penjamin (pembawa barang) bersedia memberi jaminan kepada penjual untuk memenuhi kepentingan pembeli (mengganti barang yang cacat tersebut).



IV.  PENUTUP
      Demikianlah makalah yang berjudul kitab-kitab fiqih tentang Muamalah ini kami buat. Kami menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu kami mengharap saran dan kritik dari bapak dosen yang bersifat konstruktif demi sempurnanya tulisan ini. Dan kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-rekan atas partisipasinya dalam pembuatan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kami dan para pembaca yang budiman.



DAFTAR PUSTAKA
·         Author, Nailul. 1990, Musaqah, Mura’ah, Dan Mukhabarah. http://nailulauthor99.blogspot.com/p/musaqah-muzaraah-dan-mukhabarah.html. diunduh 13 april / 19.30
·         Jalil, Ma’ruf Abdul. Pengertian Muzara’ah. http://alislamu.com/muamalah/11-jual-beli/264-bab-mazaraah.html. di  unduh 13 april 2013 / 19.40
·         Hendi, Suhendi. 2010. Jual Beli, Khiyar Dan Riba. http://mayapas.blogspot.com/2013/02/jual-beli-khiyar-dan-riba-makalah.html diunduh 13 april 2013 / 19.50
Su’uaidi, Qamar. 2003. Hukum Jual Beli dalam Islam. http://www.salafy.or.id/print.php?idartikel=66. Diunduh 13 april 2013/ 19.00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa komentar dan masukan anda dengan blog ini ?

Followers