Pages

Minggu, 21 Juli 2013

hubungan tasawuf dengan ilmu yang lain


HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM, FILSAFAT, ILMU FIQH, ILMU JIWA AGAMA
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : AKHLAQ
Dosen Pengampu : Bp. Rosidi, S.Pd.I.,  M.Ag
 










Disusun oleh :
Masykur                                  (123911216)
Siti Rofi’ah                             (123911284)
Siti Nur Hidayah                     (123911299)
Siti Khotijah                            (123911287)
Heni Isnawati                          (123911213)


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013

Hubungan Ilmu Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Ilmu Filsafat, Ilmu Fiqih dan Ilmu Jiwa
I.        PENDAHULUAN
Ilmu tasawuf merupakan rumusan tentang teoritis terhadap wahyu-wahyu yang berkenaan dengan hubungan antara tuhan dengan manusia dan apa yang harus dilakukan oleh manusia agar dapat berhubungan sedekat mungkin dengan tuhan baik dengan pensucian jiwa dan latihan-latihan spritual. Sedangkan ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tetang persoalan tentang akidah dan adapun filsafat adalah rumusan teoritis terhadap wahyu tersebut bagai manusia mengenai keberadaan (esensi), proses dan sebagainya, Seperti proses penciptaan alam dan manusia. Sedangkan ilmu jiwa adalah ilmu yang membahas tentang gejala-gejala dan aktivitas kejiwaan manusia.
Maka dalam hal ini ilmu tasawuf tentunya mempunyai hubungan-hubungan yang terkait dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, baik dari segi tujuan, konsep dan kontribusi ilmu tasawuf terhadap ilmu-ilmu tersebut dan begitu sebaliknya bagaimana kontribusi ilmu kioslaman yang lain terhadap ilmu tasawuf.
Maka dalam makalah kami ini kami telah membahas hubungan ilmu tasawuf dengan beberapa ilmu keislaman lainnya, diantaranya: Ilmu kalam, ilmu filsafat, ilmu jiwa, dan ilmu fikih. Dengan tujuan agar kita lebih mampu mengkorelasikan ilmu-ilmu tersebut dan bisa membandingbandingkannya.

II.     RUMUSAN MASALAH
A.       Bagaimanakah Ilmu dalam pandangan kaum sufi itu?
B.       Bagaimanakah hubungan ilmu tasawuf dengan  ilmu Kalam itu?
C.       Bagaimanakah hubungan ilmu tasawuf dengan ilmu Filsafat itu?
D.       Bagaimanakah hubungan ilmu tasawuf dengan ilmu Fiqih itu ?
E.        Bagaimanakah hubungan ilmu tasawuf dengan Ilmu Jiwa Agama itu ?





III. PEMBAHASAN
A.       Ilmu dalam pandangan kaum sufi

Istilah "tasawuf"(sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian atau bersih.
Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shaf yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shuffah yang berarti serambi masjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh para sahabat-sahabat nabi yang miskin dari golongan Muhajirin. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang menunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang memperdulikan penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang kasar sebagai simbol kesederhanaan.[1]
Ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tasawuf sepanjang zaman dalam konteks Islam.
Imam Junaid dari Baghdad (910 M.) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah". Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (1258 M.) syekh sufi besar dari Afrika Utara mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq (1494 M.)dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut: Ilmu yang dengannya dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan tentang jalan Islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata. Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak demikian maka tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'."
Menurut Syekh Ibn Ajiba (1809 M): Tasawuf adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnya adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi.
 Ilmu tasawuf  bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan dan intisari dari itu adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad atau menyatu dengan Tuhan. Dalam ajaran Tasawuf, seorang sufi tidak begitu saja dapat dekat dengan Tuhan, melainkan terlebih dahulu ia harus menempuh maqamat.
Mengenai jumlah maqomat yang harus di tempuh sufi bebrbeda-beda, Abu Nasr al-Sarraj menyebutkan tujuh maqomat yaitu tobat, wara, zuhud, kefakiran, kesabaran, tawakkal, dan kerelaan hati. Dalam perjalananya seorang shufi harus mengalami istilah hal (state). Hal atau ahwal yaitu sikap rohaniah yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia tanpa diusahakan olehnya, seperti rasa takut (al- khauf), ikhlas, rasa berteman, gembira hati, dan syukur. Jalan selanjutnya adalah fana' atau lebur dalam realitas mutlak (Allah). Manusia merasa kekal abadi dalam realitas yang Tertinggi, bahkan meleburkan kepada-Nya. Maksudnya, menghancurkan atau mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan.
Menurut Taftazani seseorang yang bertasawuf mempunyai beberapa ciri yaitu:
Peningkatan moral, seorang sufi memiliki nilai-nilai moral dengan tujuan membersihkan jiwa. Yaitu dengan akhlak dan budi pekerti yang baik berdasarkan kasih dan cinta kepada Allah, oleh karena itu, maka tasawuf sangat mengutamakan adab/ nilai baik dalam berhubungan dengan sesama manusia dan terutama dengan Tuhan (zuhud, qonaah, thaat, istiqomah, mahabbah, ikhlas, ubudiyah, dll). Sirna (fana) dalam realitas mutlak (Allah). Manusia merasa kekal abadi dalam realitas yang Tertinggi, bahkan meleburkan kepada-Nya. Maksudnya, menghancurkan atau mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan. Dan Ketenteraman dan kebahagiaan.
Sumber Ajaran Tasawuf : Sumber  ajaran tasawuf adalah al-Qur'an dan Hadits yang di dalamnya terdapat ajaran yang dapat membawa kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang merupakan ajaran dasarnya dapat dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat al-Baqoroh ayat 186:
#sŒÎ)ur y7s9r'y ÏŠ$t6Ïã ÓÍh_tã ÎoTÎ*sù ë=ƒÌs% ( Ü=Å_é& nouqôãyŠ Æí#¤$!$# #sŒÎ) Èb$tãyŠ ( (#qç6ÉftGó¡uŠù=sù Í< (#qãZÏB÷sãø9ur Î1 öNßg¯=yès9 šcrßä©ötƒ ÇÊÑÏÈ 
“dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqoroh: 186

B.       Hubungan Ilmu Tasawuf Dengan  Ilmu Kalam
Ilmu kalam merupakan merupakan disiplin keilmuan yang banyak mengedepankan tentang persoalan-persoalan kalam tuhan. Persoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi,baik rasional(aqliyah) maupun naqliyah.ilmu kalam sering menempatkan diri pada pendekatan aqliyah dan naqliyah tetapi dengan metode argumentasi yang dialektik.jika pembicaraan kalam tuhan berkisar pada keyakinan-keyakinan yang harus di pegang oleh umat islam,ilmu ini lebih spesifik mengambil bentuk sendiri dengan istilah imu tauhid dan ilmu aqaid.[2]
Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh dzauq (rasa rohaniyah). Namun ilmu kalam atau ilmu tauhid tidak menjelaskan bagaimanakah seorang hamba dapat merasakan langsung Allah mendengar dan melihat,bagaimana pula perasaan hati seorang ketika membaca Al-Qur’an,lalu bagaimana seseorang bahwa sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari qudroh (kekuasaan) allah.[3]

C.       Hubungan Ilmu Tasawuf Dengan Ilmu Filsafat

Ilmu tasawuf yang berkembang di dunia Islam tidak dapat dinafikkan sebagai sumbangan pemikiran kefilsafatan. Hal ini dapat di lihat misalnya dalam kajian-kajian tasawuf yang berbicara tentang jiwa,memeang harus diakui bahwa terminologi jiwa dan roh banyak di kaji dalam pemikiran-pemikiran filsafat. Sekian banyak intelektual muslim ternama yang mengkaji tentang jiwa dan roh,diantaranya Al-Kindi,Al-Farabi,Ibnu sina dan Al-Ghazali.[4]
Biasanya Tasawuf dan filsafah selalu dipandang berlawanan. Ada juga anggapan bahwa pencarian jalan Tasawuf mengharuskan pencelaan filsafat, tidak hanya berupa timbal balik dan saling mempengaruhi, bahkan asimilasi (perpaduan) dan hubungan ini sama sekali tidak terbatas pada kebencian dan permusuhan. Tasawuf adalah pencarian jalan ruhani, kebersatuan dengan kebenaran mutlak dan pengetahuan mistik menurut jalan dan sunnah. Sedangkan filsafah tidak dimaksudkan hanya filsafah peripatetic yang rasionalistik, tetapi seluruh mazhab intelektual dalam kultur Islam yang telah berusaha mencapai pengetahuan mengenai sebab awal melalui daya intelek. Filsafat terdiri dari filsafat diskursif (bahtsi) maupun intelek intuitif (dzawqi).[5]

D.       Hubungan Ilmu Tasawuf Dengan Ilmu Fiqih

Sebagian besar pembahasan kitab fiqh selalu di aawali dengan pembahasan thaharah (tata cara bersuci),kemudian baru menginjak persoalan lainnya. Namun,pembahasan ilmu fiqh tidak  langsung  terkait dengan pembicaraan nilai-nilai rohaniyah,padahal,thaharah akan terasa lebih bermakna jika disertai pemahaman rohaniyah.[6]
Ilmu tasawuf dapat memberikan corak batin terhadap ilmu fiqh,corak batin yang di maksud adalah ikhlas dan khusyuk berikut jalannya masing-masing.bahkan ilmu ini mampu menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan hukum-hukum fiqh karena pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaninya[7]
Tasawuf dan fiqh adalah dua disiplin ilmu yang saling melengkapi,keduanya saling berkaitan dan saling menyempurnakan,jika terjadi pertentangan antara keduanya,berarti terjadi kesalahan atau pertentangan. Maksudnya,boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fiqh atau menjauhi fiqh,atau seorang ahli fiqh tidak mengamalkan ilmunya[8]
Tasawuf adalah pencarian jalan ruhani, kebersatuan dengan kebenaran mutlak dan pengetahuan mistik menurut jalan dan sunnah. Sedangkan filsafah tidak dimaksudkan hanya filsafah peripatetic yang rasionalistik, tetapi seluruh mazhab intelektual dalam kultur Islam yang telah berusaha mencapai pengetahuan mengenai sebab awal melalui daya intelek. Filsafat terdiri dari filsafat diskursif (bahtsi) maupun intelek intuitif (dzawqi).

E.       Hubungan Ilmu Tasawuf Dengan Ilmu Jiwa Agama
Ilmu jiwa (psikologi) adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku dan proses mental yang terjadi pada manusia. Dengan kata lain, ilmu ini meneliti tentang peranan yang dimainkan dalam perilaku manusia. Psikologi meneliti tentang suara hati (dhamir), kemauan (iradah), daya ingat, hafalan, prasangka (waham), dan kecenderungan-kecenderungan (awathif) manusia. Itu semua menjadi lapangan kerja jiwa yang menggerakkan perilaku manusia.[9]
Ilmu jiwa mengarahkan pembahasan pada aspek batin yang di dalam Qur’an diungkapkan dengan istilah insan. Dimana istilah ini berkaitan erat dengan kegiatan manusia yaitu kegiatan belajar, tentang musuhnya, penggunaan waktunya, beban amanah yang dipikulkan, konsekuensi usaha perbuatannya, keterkaitan dengan moral dan akhlak, kepemimpinannya, ibadahnya dan kehidupannya di akhirat.
Quraish Shihab mengemukakan bahwa secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik dan sebaliknya. Berarti manusia memiliki kedua potensi tersebut. Beliau mengutip ayat yang berbunyi:
çm»oY÷ƒyydur ÈûøïyôÚ¨Z9$# ÇÊÉÈ  
Artinya : “dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (QS. Al-Balad, 90: 10)

Semua praktek dan amalan-amalan dalam tasawuf adalah merupakan latihan rohani dan latihan jiwa untuk melakukan pendakian spritual kerah yang lebih baik dan lebih sempurna. Dengan demikian, amalan-amalan tasawuf tersebut adalah bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan keberhasilan ahli agar lebih kokoh dalam menempuh liku-liku problem hidup yang beraneka ragam serta untuk mencari hakekat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik.
Manusia sebagai makhluk Allah memiliki jasmani dan rohani. Salah satu unsur rohani manusia adalah hati (Qalbu) disamping hawa nafsu. Karena itu penyakit yang dapat menimpa mansia ada dua macam, yaitu penyakit jasmani dan penyakit rohani atau jiwa atau qalbu.
Di dalam beberapa ayat Al-Qur’an dikatakan bahwa di dalam hati manusia itu ada penyakit, Antara lain penyakit jiwa manusia itu adalah iri, dengki, takabur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya.[10]
Dengan tasawuf manusia akan dapat menghindarkan diri dari penyakit kejiwaan (psikologis) berupa prilaku memperturutkan hawa nafsu keduniaan, seperti: iri, dengki, takabbur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
Tasawuf berusaha untuk melakukan kontak batin dengan tuhan bahwa berusaha untuk berada dihadirat Tuhan, sudah pasti akan memberikan ketentraman batin dan kemerdekaan jiwa dari segala pengaruh penyakit jiwa.
Dengan demikian antara tasawuf dengan ilmu jiwa memiliki hubungan yang erat karena salah satu tujuan praktis dari ilmu jiwa adalah agar manusia memiliki ketenangan hati, ketentraman jiwa dan terhindar dari penyakit-penyakit psikologis seperti dengki, sombong, serakah, takabbur dan sebagainya.
Tasawuf juga selalu membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan manusia muslim.
Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang kajian kejiwaan manusia itu sendiri.
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang diperaktekkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dikategorikan sebagai perbuatan buruk atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang adalah perbuatan baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkan jelek ia disebut sebagai orang yang berakhlak buruk.
Dalam pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang tergantung pada jenis jiwa yang berkuasa pada dirinya. Jika yang berkuasa atas dirinya adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati, prilaku yang tampil adalah prilaku hewani dan nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang tampil adalah prilaku insani pula. Kalau para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, berarti bahwa hakikat zat, dan inti kehidupan manusia terletak pada unsur spritual dan kejiwaannya
Ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidaklah berarti bahwa para sufi mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga mereka pentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya dibumi.[11]
 Dengan demikian, pada aspek lain psikologi juga kita temukan masih menggunakan teori dan metodologi psikologi modern. Dan sedangkan tasawuf lepas sama sekali dari teori dan metodologi psikologi modern. Inilah yang membedakan antara tasawuf dengan psikologi Islam. Namun pada sisi lain tasawuf juga memberi kontribusi besar dalam pengembangan Psikologi Islam, karena tasawuf merupakan bidang kajian Islam yang membahas jiwa dan gejala kejiwaan.
Unsur Islam dalam psikologi Islam akan banyak berasal dari tasawuf. Dan hanya sedikit berbeda antara tasawuf dengan ilmu kejiwaan adalahdari metode sistem pandangannya terhadap mempelajari kejiwaan manusia. Jika kita lihat tasawuf melihat manusia dari sisi internalnya artinya langsung mempelajari isi dan kondisi hati ataupun kejiwaan manusia bagaimana seharusnya. Sedangkan ilmu jiwa ataupun yang sering dikenal dengan psikologi mempelajari dan mendeskripsikan kejiwaan manusia dari eksternal manusia yaitu dengan mempelajari hal-hal yang tampak dari sikap dan prilaku manusia apa adanya karena menurutnya dari mempelajari prilakunya kita dapat menggambarkan bagaimana kondisi kejiwaannya.

IV. PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas kami dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa ilmu tasawuf adalah suatu ilmu yang sangat penting dimiliki manusia karena dengan ilmu tasawuf jiwa kita lebih tenang dan damai. Dan bertasawuf bukanlah harus dengan bertarikat tapi hakikat ilmu tasawuf adalah pembinaan jiwa kerohanian sehingga bisa berhubungan dengan P0[‘Allah sedekat mungkin.
Maka dengan begitu kita semua bisa bertasawuf walaupun apapun berprofesinya, karena inti tasawuf adalah terisinya jiwa dengan akhlak yang baik dan kesucian jasmani dan rohani dari akhlak yang tercela. Untuk itu menurut kami orang yang bisa menjaga dirinya dari kedua hal tersebut juga sudah dinamakan hidup bertasawuf.

B.     Kritik dan Saran

Demikianlah makalah yang dapat penulis sajikan. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangtelitian atas pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang kontruktif sangat penulis butuhkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.





DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali. Al-Maqhad Al-asna fi syarh al-asma Allah Al-husna.terj.ilyas       hasan.bandung:mizan .1996
Anwar, Rasihon, dan Dr. Mukhtar Solihin, M. Ag, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Anton Bakker dan Ahmad Haris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1994
Bahesty dan Bahonar, Dasar Pemikiran Filsafat Islam dalam al-Qur'an, Risalah Masa, Jakarta, 1991
Djiwandono, Sri Esti Wuryani, Psikologi Pendidikan, Jakarta : Grasindo, 2002.hal 27
M. Shihab Quraish, Membumikan Al-Qur’an: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupam   masyarakat, Cet. XVI, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997)
Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, Pustaka, Bandung, 1985 terj. Ahmad Rofi’ Usmani dari  Madkhal Ila al-Tashawwuf al-Islam
-http://irpanharahap.blogspot.com/2011/07/hubungan-tasawuf-dengan-ilmu-lainnya.html
http://irpanharahap.blogspot.com/2011/07/hubungan-tasawuf-dengan-ilmu-lainnya.
html-http://irpanharahap.blogspot.com/2011/07/hubungan-tasawuf-dengan-ilmu-lainnya.html
http://www.jadilah.com/2011/11/hubungan-ilmu-kalam-tasawuf-dan.html
http://www.cliquers-transetter.blogspot.com/2012/02/makalah-tentang-hubungan-tasawuf-dengan.html
al Qur’an digital


[1] Anwar, Rasihon, dan Dr. Mukhtar Solihin, M. Ag, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
[2]Ibid. Rosihon anwar dan muhtar solihin.ilmu tasawuf.bandung:pustaka setia,2000 halm.85
[3] Ibid. Hal 86
[4] Anton Bakker dan Ahmad Haris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1994
[5] Bahesty dan Bahonar, Dasar Pemikiran Filsafat Islam dalam al-Qur'an, Risalah Masa, Jakarta, 1991
[6] Al-Ghazali. Al-Maqhad Al-asna fi syarh al-asma Allah Al-husna.terj.ilyas       hasan.bandung:mizan .1996. hlm.73-74
[7] Ibid.Hal 90
[8] Ibid.Hal 91
[9] Djiwandono, Sri Esti Wuryani, Psikologi Pendidikan, Jakarta : Grasindo, 2002.hal 27

[10] M. Shihab Quraish, Membumikan Al-Qur’an: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupam   masyarakat, Cet. XVI, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997)

[11] Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, Pustaka, Bandung, 1985 terj. Ahmad Rofi’ Usmani dari  Madkhal Ila al-Tashawwuf al-Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa komentar dan masukan anda dengan blog ini ?

Followers