KORELASI TAREKAT DAN TASAWUF
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Akhlak
Dosen pengampu : Rosyidi, M.S.I
Di susun oleh :
Kelompok 6
Ana Rubaiah (123911207)
Ridwan (123911225)
Sri
Sofiyati (123911286)
Siti
Rofi’ah (123911284)
Sudarsono (123911289)
FAKULTAS TARBIYAH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2013
BAB
I
A.
Pendahuluan
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu yang menekankan dimensi atau
aspek spiritual dari Islam. Spiritualitas ini dapat mengambil bentuk yang
beraneka didalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan
aspek rohaninya ketimbang aspek jasmaninya. Dalam kaitannya dengan kehidupan,
ia lebih menekankan akhirat ketimbang kehidupan dunia fana. Ahli tasawuf
percaya bahwa dunia spiritual lebih hakiki dan real dibanding dengan dunia
jasmani.
Manusia memiliki dua rumah, satu rumah jasadnya yaitu dunia, dan
yang lain rumah rohnya yaitu akhirat. Tetapi karena hakikat manusia terletak
pada rohnya, maka manusia merasa terasing di dunia ini, karena alam rohanilah
tempat roh atau jiwa manusia sesungguhnya. Perasaan terasing inilah yang
kemudian memicu sebuah “pencarian mistik” (mystical
quest) dari seorang manusia, dan dengan itu pula manusia memulai perjalanan
spiritualnya menuju Tuhannya. Inilah yang kita sebut “tarekat” (thariqoh). Namun, karena Tuhan sebagai
“tujuan akhir perjalanan manusia” bersifat rohani, manusia harus berjuang
menembus rintangan-rintangan materi agar rohnya menjadi suci. Itulah sebabnya
kata “tasawuf” dikatakan berasal dari “shafa”,
yang artinya kesucian, yakni kesucian jiwa dari kotoran-kotoran atau
pengaruh-pengaruh jasmani.
B.
Rumusan masalah
Adapun masalah-masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini
adalah:
1.
Korelasi tarekat dan tasawuf
2.
Kode etik tarekat
3.
Suluk dalam tarekat
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Korelasi Tarekat Dan Tasawuf
1.
Pengertian Tarekat
Tarekat merupakan bentuk praktis dari tasawuf. Tarekat mengalami
perkembangan makna, dari makna pokok ke makna psikologis, sampai makna secara
keorganisasian. Tarekat bisa dipahami dalam dua pengertian: pertama,
kata “tarekat” berasal dari bahasa Arab, yakni thoriqoh yang secara
harfiah berarti “jalan” sebagai makna pokok. Kata tersebut semakna dengan kata
syari’ah, shirath, sabil, dan minhaj. Adapun secara istilah, tarekat mengandung
arti “jalan menuju Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan cara menaati
ajaran-Nya. Kedua, dalam pengertian persaudaraan suci dimana berkumpul
sejumlah murid dan seorang guru, yang dibantu oleh mursyid-mursyid (guru)
lainnya. Tarekat kemudian dipahami sebagai jalan spiritual yang ditempuh
seorang sufi.
Selain tarekat sering juga digunakan kata “suluk” yang
artinya juga perjalanan spiritual, dan orangnya disebut “salik”.
Tetapi, kata tarekat juga dipakai untuk
merujuk sebuah kelompok persaudaraan atau ordo spiritual yang biasanya
didirikan oleh seorang sufi besar seperti Abd al-Qodir jilani, Sadzili, Jalal
al-Din Rumi, dan lain-lainnya. Nama tarekat tersebut biasanya dinisbahkan kepada
nama-nama pendirinya, atau julukan yang diberikan oleh para pengikutnya. Karena
itu, kita mengenal tarekat Qadiriyah, Sadziliyah, atau Maulawiyah yang
dinisbahkan kepada julukan “Maulana” (guru kami) yang diberikan murid-murid
Rumi kepadanya.
2.
Korelasi Tarekat Dan Tasawuf
Istilah tarekat (thariqoh) dalam tasawuf sering dihubungkan
dengan dua istilah lain, yakni syari’ah (syari’at) dan haqiqoh
(hakikat). Ketiga istilah tersebut dipakai untuk menggambarkan peringkat
penghayatan kegamaan seorang muslim. Penghayatan keagamaan peringkat awal
disebut syari’at, peringkat kedua disebut tarekat, sementara peringkat
tertinggi adalah hakikat.
Pada perkembangannya, kata tarekat mengalami pergeseran makna. Jika
pada mulanya tarekat berarti jalan yang ditempuh oleh seorang sufi dalam
mendekatkan diri kepada Allah maka pada tahun selanjutnya istilah tarekat
digunakan untuk menunjuk pada suatu metode psikologis yang dilakukan oleh guru
tasawuf (mursyid) kepada muridnya untuk mengenal Tuhan secara mendalam.
Melalui metode psikologis tersebut, murid dilatih mengamalkan syari’at dan
latihan-latihan keruhaniahan secara ketat sehingga ia mencapai pengetahuan yang
sebenarnya tentang Tuhan.
Pada mulanya, suatu tarekat hanya berupa “ jalan atau metode yang
ditempuh oleh seorang sufi secara individual”. Kemudian para sufi itu
mengajarkan penglamannya kepada murid-muridnya, baik secara individual maupun
kolektif. Dari sini, terbentuklah suatu tarekat, dalam pengertian “jalan menuju
Tuhan di bawah bimbingan seorang guru”. Setelah suatu tarekat memiliki anggota
yang cukup banyak maka tarekat tersebut kemudian dilembagakan dan menjadi
sebuah organisasi tarekat. Pada tahap ini, tarekat dimaknai sebagai “organisasi
sejumlah orang yang berusaha mengikuti kehidupan tasawuf”.
Dalam tarekat yang sudah melembaga itu, tercakup semua aspek ajaran
islam ditambah peran serta seorang syaikh. Akan tetapi, semua itu
memerlukan tuntunan dan bimbingan seorang syaikh melalui baiat. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa, tasawuf adalah sebuah usaha untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Sedangkan tarekat adalah cara dan jalan yang ditempuh seorang
dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah. Gambaran ini menunjukkan bahwa
tarekat adalah tasawuf yang telah berkembang dengan variasi tertentu, sesuai
dengan spesifikasi yang diberikan seorang guru kepada muridnya.
3.
Kode Etik Tarekat
v
Guru tarekat
Dalam sebuah tarekat sufi, seorang guru tarekat, atau biasa juga
disebut syaikh, murod, atau mursyid, memiliki peranan penting dan
bahkan mutlak. Jika para ulama sebagai pewaris nabi mengajarkan ilmu lahir maka
para mursyid tarekat menjadi pewaris nabi dalam hal mengajarkan penghayatan
keagamaan yang bersifat batin.
Seorang guru tarekat harus mempunyai sebuah “kode etik guru
tarekat” agar bisa disebut Guru Tarekat. Diantaranya yaitu, seorang Syaikh atau
mursyid harus menguasai ilmu syari’at dan ilmu hakikat secara mendalam dan
lengkap. Pemikiran, perkataan, dan perilakunya harus mencerminkan akhlak
terpuji. Dalam membimbing penyembuhan murid-muridnya, seorang mursyid dibantu
oleh beberapa wakil yang disebut khalifah, atau badal. Dalam tradisi tarekat
Qodiriyah-Naqsyabandiyah, para wakil mursyid biasa disebut Walkin Talkin. Ini
dikaitkan dengan salah satu fungsi utama mursyid tarekat yakni memberikan
talkin kepada calon murid yang akan mengikuti latihan kehidupan tarekat.
v
Murid atau salik tarekat
Menurut Ibn arabi, seorang murid tarekat dihadapan gurunya
hendaklah bersikap bagaikan mayat yang berada ditangan orang yang memandikanya.¹
Dari sini, kemudian muncul sederet etika murid tarekat terhadap gurunya. Yang
meliputi:
1)
Murid tidak boleh berprasangka buruk atau ragu terhadap gurunya;
2)
Murid tidak boleh duduk pada tempat yang biasa diduduki oleh
gurunya;
3)
Murid tidak boleh memakai suatu barang yang biasa dipakai oleh
gurunya;
4)
Apabila sang guru menyuruh muridnya mengerjakan sesuatu hendaklah
ia segera mengerjakannya;
5)
Murid tidak boleh mengajukan usul apapun jika ia tidak atau belum
memahami jenis pekerjaan itu;
6)
Jika murid melihat gurunya berjalan ke suatu arah, ia tidak boleh
bertanya ke mana gurunya pergi;
7)
Murid tidak boleh menikahi janda gurunya ketika gurunya telah
bercerai atau meninggal dunia; dan
8)
Murid yang berani melawan gurunya dalam sebuah tarekat dipandang
telah melawan Allah.
¹Prof. Dr. Nur
Syam, M. Si, Tasawuf Kultural, hlm. 67.
Penghormatan dan ketaatan seorang murid kepada mursyid
merupakan komponen penting dalam tarekat. Menurut Ibn Arabi, seorang murid yang
tidak hormat dan tidak taat kepada sang guru maka hancurlah adab-nya
kepada nabi Muhammad. Sebab, Syaikh adalah wakil Nabi Muhammad dalam
kepemimpinan ruhani sampai kehadirat Allah. Dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa
orang yang beriman tidak mengajukan pertanyaan apapun kepada nabi tentang
berbagai hal yang jika diterangkan justru akan mendatangkan kesukaran bagi
mereka.²
Oleh karena itu, para murid dalam sebuah tarekat harus memelihara
adab kepada gurunya. Mereka tidak boleh berdiskusi, menyanggah, atau
mempertanyakan pesan-pesan gurunya. Adab kepada guru ini dimaksudkan agar
seorang murid memeroleh limpahan berkah dari sang guru guna meningkatkan maqom-
nya. Sebab limpahan berkah itu adalah atas izin Allah, yang hanya
dikaruniakan kepada murid yang berkhidmat atau mengabdi kepada gurunya secara
tulus.
B.
Suluk Dalam Tarekat
1.
Pengertian Suluk
Suluk biasanya dipahami sebagai upaya atau ikhtiar seseorang untuk
mendapatkan makrifat tentang Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, yang
dilakukan dengan cara yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rosul-Nya. Dalam
dunia tarekat, suluk merupakan bagian dari sistem atau cara mendekatkan diri
kepada Allah, yang apabila diilustrasikan: suluk adalah perahunya, tarekat
adalah samudranya, dan hakikat adalah mutiaranya.³
Suluk juga bisa diartikan sebagai “cara” atau “metode” dalam
tarekat untuk mencapai suatu tingkatan tertinggi dalam tasawuf yaitu tingkatan
makrifat. Suluk merupakan kegiatan dzikir yang dilanjutkan dengan tafakur
(merenung) dengan bentuk Riyadhah (melatih rohani), untuk memperoleh tingkatan
maqom dan kondisi tertentu dalam suatu kegiatan tarekat.
²
QS. Al-maidah [5]: 101
³
Muhammad Nurul Ibad, Suluk Jalan Terbatas “Gus Miek”, hlm. 5.
2.
Suluk Dalam Tarekat
Tarekat
itu bisa dilihat dari dua sisi, yaitu: Amaliah (suluk) dan perkumpulan
(organisasi). Sisi Amaliah (suluk) merupakan latihan kejiwaan (rohaniah) baik
dilakukan seorang atau bersama-sama, dengan aturan-aturan tertentu untuk
mencapai tingkat kerohanian tertentu. Meskipun kedua istilah (tarekat dan
suluk) ini ada perbedaannya, namun jika dilihat dari amalannya (prakteknya)
pengertian antara suluk dan tarekat itu sama. Tetapi kalau dilihat dari segi
organisasi (perkumpulannya) tentu saja antara tarekat dan suluk itu berbeda.
Kalau suluk itu perjalanan sufi dilihat dari amaliahnya, sedangkan tarekat
adalah perjalanan sufi dilihat dari sisi perkumpulan atau komunitasnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sejalan
dengan perkembangannya, manusia bisa tuma’ninah, tentram, dan damai dengan
mensucikan hati dari kotoran dosa, mengamalkan ajaran para sufi, yang sesuai
dengan tuntunan Al Qur’an dan As Sunah. Akhirnya, manusia bisa merasakan
lezatnya munajat dan bermuajahah dengan Sang Kholiq, apabila telah sampai pada
tingkatan tertinggi tasawuf yaitu “makrifat”. Dengan sebelumnya telah
melalui tarekat-tarekat dan suluk sebagai cara dan jalan untuk menuju tingkatan
tersebut. Dalam tarekat para salik harus melaksanakan kode etik sebagai
murid, agar berkah Allah bisa dilimpahkan kepada salik yang menjaga adab
terhadap guru tersebut.
B.
Penutup
Alhamdulillah, demikian makalah ini kami buat. Makalah ini, masih
sangatlah jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu kami mohon bimbingan dari
dosen, saran serta kritik yang membangun dari pembaca semua. Semoga makalah ini
bisa bermanfaat untuk semuanya.
DAFTAR PUSTAKA
Syam, Nur. Tasawuf Kultural: fenomena shalawat wahidiyah.
Yogyakarta: PT. LKS Yogyakarta, 2008.
Nashirudin, Pendidikan Tasawuf. Semarang: RaSAIL Media
Group, 2010.
Nurul Ibad, Muhammad. Suluk Jalan Terbatas ”Gus Miek”.
Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009.
Kartanegara, Mulyadhi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta:
Erlangga, 2006.
Al-Kailani,
Abdul Razzaq. Syaikh abdul Qodir Al jailani: Guru Para Pencari Tuhan.
Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa komentar dan masukan anda dengan blog ini ?