BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan
mati. Semua tahap itu
membawa
pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama ,dengan orang yang dekat
dengannya. Baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan.
Kelahiran
membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta
timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat dan masyarakat
lingkungannya.
Demikian juga
dengan kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada
diri,keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu kematian
tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang
berhubungan dengan pengurusan jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat
hukum lain
secara
otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya
(ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya.
Adanya kematian seseorang
mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimanacara
penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang dikenal dengan nama Hukum Waris.
Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan nama Ilmu Mawaris, Fiqih
Mawaris, atau Faraid.
Dalam hukum waris tersebut
ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris, siapa-siapayang berhak
mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian mereka masing-masing
bagaimana ketentuan pembagiannya serta diatur pula berbagai hal yang
berhubungan dengan soal pembagian harta warisan.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang diatas, maka penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan yang
berkaitan dengan faraid yaitu
1. Pengertian ilmu faraid, Harta pusaka, Ahli waris dan Sebab perolehannya
2. Terhalangnya warisan, Ashobah, dan
Furudl al- Muqadarah
3. Hijab, Kaidah, Aul, Pusaka Rahim,
dan Wasiat
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu Faraid
Faraid
dari segi bahasa mempunyai maksud cukup banyak, antaranya yaitu
menentukan,memastikan,menghalalkan dan mrewajibkan.Menurut istilah Faraid
adalah pembagian harta seorang islam yang telah meninggal dunia. Adapun kata
faraid dalam kontek kewarisan adalah bagian para waris.
Faraid dalam istilah mawaris
dikhususkan untuk suatu bagian para ahli waris yang telah ditentukan besar
kecilnya oleh syara. Sedangkan
ilmu faraid oleh sebagian ulama maknanya ilmu fiqih yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan
yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka, dan pengetahuan tentang
bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan oleh setiap pemilik harta
pusaka.
Sedangkan Menurut istilah Fiqih faraid adalah apa yang ditinggalkan
orang mati berupa harta atau hak-hak yang karena kematiannya itu menjadi hak
ahli warisnya. Jadi disebut ilmu faraid
karena dalam pembagian harta warisa telah ditentukan siapa-siapa ahli waris yang
berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian
tertentu yang diterimanya.
B.
Beberapa Hak Yang Bersangkutan
Dengan Harta Pusaka
Apabila seorang muslim meninggal dunia dan meninggalkan harta benda, maka
setelah manyat
dikuburkan,
keluarganya wajib mengelola harta
peninggalannya dengan
langkah-langkah
berikut;
1.
Pertama,
membiayai perawatan jenazahnya.
2.
Kedua, membayar
zakatnya jika si mayat belum mengeluarkan zakat sebelum
meninggal.
3.
Ketiga,
membayar utang-utangnya apabila mayat meninggalkan utang.
4.
Keempat,
membayarkan wasiatnya, jika mayat berwasiat sebelum meninggal
dunia.
5.
Kelima, setelah
dibayarkan semua, barulah
harta peninggalan si mayat dibagi kepada ahli waris berdasarkan ketentuan hukum
faraid
C.
Sebab-Sebab Pusaka
Sebab-sebab memperoleh harta warisan seorang berhak memperoleh
harta waris disebabkan oleh hal-hal berikut :
1.
Perkawinan,
yaitu adanya ikatan yang sah antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri
yang tidak terhalang oleh siapapun.
2.
Kekerabatan ,
yaitu hubungan nasab antara orang yang mewariskan danorang yang mewarisi yang
disebeabkan oleh kelahiran. Hubungan ini tidak akanterputus karena yang menjadi
sebab adanya seseorang tidak bisa dihilangkan.
3.
Memerdekakan
dari perbudakan
4.
Ada hubungan
sesama muslim(jika
yang meninggal tidak mempunyai ahli waris),maka harta peninggalannya diserahkan ke baitul mal untuk
umat islam dengan jalan pusaka
D.
Ahli Waris
Orang orang yang boleh (mungkin) mendapatkan pusaka dari
seseorang yang meninggal dunia ada 25 orang,15 orang dari pihak laki-laki dan
10 orang dari pihak perempuan:
1.
Dari pihak laki-laki
a.
Anak laki-laki,
dari yang meninggal.
b.
Anak laki-laki
dari anak laki-laki(cucu) dari pihak laki-laki
c.
Bapak yang
meninggal
d.
Datuk (kakek)
dari pihak bapak.
e.
Saudara
laki-laki seibu dan sebapak
f.
Saudara
laki-laki sebapak saja
g.
Saudara
laki-laki seibu saja
h.
Anak laki-laki
dari saudara laki-laki yang seibu-sebapak
i.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja
j.
Saudara laki-laki bapak (paman) dari pihak bapak yang
seibu-sebapak
k. Saudara laki-laki bapak (paman) yang
sebapak saja
l.
Anak laki-laki dari paman yang seibu sebapak
m. Anak laki-laki dari paman yang
sebapak saja
n. Suami
o. Laki-laki yang memerdekakan mayat
2.
Dari pihak perempuan
a. Anak perempuan
b. Cucu perempuan dari anak laki-laki.
c. Ibu
d. Ibu dari pihak bapak
e.
Ibu dari
ibu terus keatas pihak ibu
sebelum berselang laki-laki
f. Saudara perempuan yang seibu-sebapak
g. Saudara perempuan
yang sebapak
h. Saudara perempuan yang ibu
i.
Istri
j.
Perempuan yang
memerdekakan simayat
Jika
10 orang tersebut diatas ada semuanya, maka yang dapat mewarisi dari mereka itu
hanya 5 orang saja yaitu
1. Istri
2. Anak perempuan
3. Anak perempuan dari anak laki-laki
4. Ibu
5. Saudara perempuan yang seibu-sebapak
E.
Terhalangnya Warisan
Sebab-sebab terhalangnya warisan
1.
Hamba: seorang
hamba tidak mendapat pusaka dari keluarganya yang meninggal dunia selama ia
masih bersifat hamba. Sebagaimana
firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 75:
عبدامملوكالايقدرعلى شيئ
Artinya : “Hamba yang dimiliki tidak mempunyai
kekuasaan atas suatu apa pun.”
(Q.S An-Nahl :75)
2.
Pembunuh: orang
yang membunuh keluarganya tidak mendapat pusaka dari keluarganya yang
dibunuhnya itu. Sebagaimana hadist
nabi yang diriwayatkan oleh imam Nasa’i.
رواه النسائ)) لايرث القاتل من المقتول شيئا
Artinya : “Yang membunuh tidak mewarisi dari yang
dibunuhnya.”(HR. Nasa’i)
3.
Murtad; Ahli
waris keluar dari Agama Islam.
Sebagaimana hadist nabi Muhammad SAW
عن ابي بردةقال
بعثني رسول الله صلى الله عليه وسلم الى رجل عرس باءمراةابيه فاءمرنى ان اضرب عنقه
واخمس ماله وكان مرتدا
Artinya : “Diriwayatkan
dari Abu Bardah, ia Berkata: “Saya telah diutus oleh Rosulullah SAW. Kepada seorang
laki-laki yang kawin dengan istri bapaknya. Nabi besar SAW menyuruh supaya saya
membunuh laki-laki tersebut dan membagi hartanya sebagai harta rampasan,
sedangkan laki-laki tersebut murtad.”
4.
Kafir; ahli
waris bukan muslim.
لايرث المسلم
الكافرولاالكافرالمسلم. (رواه الجماعه)
Artinya : “Tidak mewarisi orang islam akan orang yang
bukan Islam, demikian pula yang bukan Islam tidak pula mewarisi orang Islam
(HR. Jama’ah).”
F.
Ashobah
:
Pengertian Ashobah yaitu
ahli waris yang mendapat bagian warisannya tidak ditentukan, yaitu
setelah diambil oleh ahli waris yang termasuk dzawil furudh.
Ashobah
terbagi menjadi tiga bagian yaitu Ashobah binafsihi, ashobah
bighoirihi dan ashobah ma’a ghoirihi
1.
Asobah Binafsihi
Asobah bin Nafsi adalah
ahli warits yang mendapatkan bagian ashobah dengan sendirinya. Bukan karena
adanya muassib atau mumattsil, ataupun karena adanya anak perempuan atau cucu perempuan.
Di antara ahli warits yang
mendapatkan bagian Asobah Binafsihi yaitu:
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki
c. Bapak
d. Kakek
e. Saudara laki-laki sekandung
f. Saudara laki-laki sebapak
g. Anak saudara laki-laki skg
h. Anak saudara laki-laki sbp
i.
Paman sekandung
j.
Paman sebapak
k. Anak paman sekandung
l.
Anak paman sebapak
Keterangan:
Bapak mendapatkan Asobah Binafsihi
dengan syarat tidak ada anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki, cucu
perempuan (faro warits).
Hukum bagian ahli warits yang mendapatkan asobah binafsihi
diantaranya:
a.
Bila menyendiri
maka dia berhak mengambil semua harta warits.
b.
Mengambil sisa
harta waritsan apabila pembagian hartanya sudah dibagikan kepada ahli warits
yang mendapatkan bagian tertentu dari harta itu.
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : الحقوالفرائض
باهلها فمابقي فهولاولى رجل دكر متفق عليه
Artinya:
"Serahkanlah waritsan itu kepada ahlinya adapun
sisanya kepada ahli warits laki-laki yang terdekat." (Muttafaqun ‘Alaihi).
c.
Terputus apabila harta yang dibagikan itu kehabisan oleh ahli warits yang
lain.
Dengan dalil di atas sudah jelas bahwa ahli warits laki-laki berhak mendapatkan sisa dari harta waritsan.
Dengan dalil di atas sudah jelas bahwa ahli warits laki-laki berhak mendapatkan sisa dari harta waritsan.
2.
Asobah
bigoirihi
Asobah Bigoirihi adalah asobah
dengan yang lainnya yang mendapatkan Asobah Bigoirihi yaitu:
a. Anak laki-laki dengan anak perempuan
b. Cucu laki-laki dengan cucu perempuan
c.
Saudara laki-laki dengan saudara perempuan
Ketentuan bagi yang mendapatkan asobah
bigoirihi:
Bagi anak
laki-laki bagiannya adalah dua kali bagian anak perempuan.
3.
Asobah Ma’a
Ghairihi
Asobah ma’a goirihi adalah asobah bersama yang lainnya.
Adapun yang berhak mendapatkan bagian asobah ma’a goirihi yaitu
a.
Saudara perempuan
dengan anak atau cucu perempuan.
Ketentuan
bagi yang mendapatkan Asobah ma’a goirihi:
Mengambil
sisa-sisa ahli warits yang lain.
G.
Furudhul Muqaddarah
(ketentuan
kadar bagian masing-masing)
Furudul muqaddarah atau
ketentuan bagian ahli waris ada beberapa macam. Terkadang, ketentuan itu bisa
berubah-ubah karena suatu sebab. Berikut ketentuan-ketentuan bagian ahli waris
dan pembahasannya.
1.
Yang mendapat
bagian setengah (1/2) adalah :
a. Anak perempuan tunggal.
b. Cucu perempuan tunggal tunggal dari anak Laki-laki.
c. Saudara perempuan sekandung sebapak (jika sekandung tidak
ada).
d. Suami jika istri yang meninggal tidak mempunyai anak.
2.
Yang mendapat
bagian seperempat (1/4) adalah :
a.
Suami jika istri
yang meninggal punya anak
b.
Istri jika
suami yang meninggal tidak mempunyai anak.
3.
Yang
mendapatkan bagian seperdelapan (1/8) adalah ;
a.
Istri jika suami
yang meninggal mempunyai anak
4.
Yang mendapat
bagian dua pertiga (2/3) adalah ;
a.
Dua anak
perempuan atau lebih jika tidak anak laki-laki
b.
Dua cucu atau
lebih dari anak laki-laki jika tidak ada anak perempuan
c.
Dua saudara
perempuan sekandung atau lebih
d.
Dua saudara perempuan
atau lebih yang sebapak jika yang sekandung tidak ada
5.
Yang mendapat bagian
sepertiga (1/3) adalah ;
a.
Ibu jika yang
meninggal tidak mempunyai anak atau saudara perempuan
b.
Dua saudara
perempuan atau lebih jika yang meninggal tidak mempunyai anak atau orang tua
6.
Yang mendapat bagian
seperenam (1/6) adalah ;
a. Ibu jika anak atau cucu dari anak laki-laki, atau tidak
ada dua
saudara atau lebih,
sekandung atau seribu saja
b. Bapak jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki (baik
laki-lakimaupun perempuan).
c.
Nenek jika ibu
tidak ada
d.
Cucu perempuan
dari pihak laki-laki
e.
Datuk beserta
anak atau cucu laki-laki jika bapak tidak ada
f.
Saudara yang
seibu,baik laki-laki maupun perampuan
g.
Saudara
perempuan yang sebapak saja
H.
Hijab (sebab-sebab tidak mendapat warisan)
Hijab adalah penghapusan hak waris seseorang, baik
penghapusan sama sekali ataupun pengurangan bagian harta warisan karena ada
ahli waris yang lebih dekat pertaliaannya ( hubungannya ) dengan orang yang
meninggal.
Oleh karena itu hijab terbagi menjadi
dua macam, antara lain
yaitu:
1.
حِجَابْ حِرْمَانِ (hijab hirman) yaitu
penghapusan seluruh bagian , karena ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya
dengan orang yang meninggal itu. Contoh cucu laki-laki dari anak laki-laki, tidak mendapat
bagian selama ada anak laki-laki.
2. حِجَابْ
نُقْصَانْ (hijab nuqshon) yaitu pengurangan bagian dari
harta warisan, karena ada ahli waris lain yang bersama-sama dengan dia. Contoh
: ibu mendapat 1/3 bagian, tetapi yang meninggal itu mempunyai anak atau cucu
atau beberapa saudara, maka bagian ibu berubah menjadi 1/6.
Dengan demikian ada ahli waris yang terhalang (tidak
mendapat bagian) yang disebut مَحْجُوْبٌ حِرْمَانِ (mahjub
hirman), ada ahli waris yang hanya bergeser atau berkurang bagiannya yang
disebut مَحْجُوْبٌ نُقْصَانْ
(mahjub
nuqshan) Ahli waris yang terakhir ini tidak akan terhalang meskipun
semua ahli waris ada, mereka tetap akan mendapat bagian harta warisan meskipun
dapat berkurang. Mereka adalah ahli waris dekat yang disebut الاَقْرَبُوْنَ
(Al Aqrabun) mereka terdiri dari : Suami atau istri, Anak laki-laki dan
anak perempuan, Ayah dan ibu.
I.
Kaidah Berhitung
Pada uraian di muka sudah diterangkan tentang ketentuan
bagian masing-masing ahli waris. Di antara mereka ada yang mendapat ½ , ¼, 1/8,
1/3, 2/3 dan 1/6. Kita lihat bahwa semua bilangan tersebut adalah bilangan
pecahan.
Cara pelaksanaan pembagian
warisannya adalah dengan cara menetukan dan mengidentifikasi ahli waris yang
ada. Kemudian menetukan di antara mereka yang termasuk :
1.
Ahli warisnya yang meninggal;
2.
Ahli waris yang terhalang karena sebab-sebab tertentu,
seperti membunuh, perbedaan agama, dan menjadi budak.
3.
Ahli waris yang terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat
hubungannya dengan yang meninggal;
4.
Ahli waris yang berhak mendapatkan warisan.
Cara pelaksanaan pembagian : jika seorang mendapat
bagian 1/3 dan mendapat bagian ½, maka pertama-tama kita harus mencari KPK (
Kelipatan Persekutuan Terkecil) dari bilangan tersebut. KPK dari kedua bilangan
tersebut adalah 6, yaitu bilangan yang dapat dibagi dengan angka 3 dan 2
Untuk menentukan ahli waris yang
mendapatkan harta warisan, maka harus diketahui siapa ahli waris yang terhalang
(terhijab), siapa yang mendapat bagian tertentu, siapa yang menjadi ashabah,
berapa KPK/AM nya.
Contoh 1
Seseorang meninggal dunia, meninggalkan ahli waris yang
terdiri atas suami, bapak, dan seorang anak perempuan. Harta warisan yang harus
dibagikan adalah uang sejumlah Rp. 20.000.000,00. Hitunglah bagian
masing-masing ahli waris :
Langkah 1
Ahli Waris
|
Bagian
|
Keterangan
|
Suami
|
1/4
|
Karena ada anak
|
Anak Perempuan
|
1/2
|
Karena tunggal
|
Bapak
|
Ashabah
|
Karena tidak ada anak laki-laki
|
|
|
KPK/Asal Masalahnya = 4
|
Langkah 2
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM = 4
|
Jumlah Bagian
|
Suami
|
1/4
|
¼ x 4
|
1
|
Anak Perempuan
|
1/2
|
½ x 4
|
2
|
Bapak
|
Ashabah
|
Ashabah/sisa
|
4 – 3 = 1
|
Langkah 3
Ahli Waris
|
Bagian
|
Jumlah bagian
|
Suami
|
¼ x Rp. 20.000.000,00
|
Rp. 5.000.000,00
|
Anak Perempuan
|
½ x Rp. 20.000.000,00
|
Rp. 10.000.000,00
|
Bapak
|
¼ x Rp. 20.000.000,00
|
Rp. 5.000.000,00
|
Jumlah
|
Rp. 20.000.000,00
|
J.
Pembagian ‘Aul
Secara bahasa ‘aul (عول) bermakna ‘naik’ atau ‘meluap’. Al
‘aul bisa juga berarti ‘bertambah’ atau “ menaikkan jumlah bagian ahli
waris terhadap Asal Masalah “.
Sedangkan
definisi ‘aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian
–bagian, disebabkan kurang pendapatan yang harus diterima oleh ahli waris,
sehingga jumlah bagian semuannya berlebih dari Asal Masalahnya atau KPK.
‘Aul terjadi saat makin banyaknya
ashabul furud sehingga harta yang dibagikan habis. Padahal masih ada diantara
para ahli waris yang belum menerima bagian. Dalam keadaan tersebut kita harus
menaikkan atau menambah pokok masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat
mencukupi jumlah ashabul furud yang ada, meskipun bagian mereka menjadi
berkurang.
‘Aul dalam pembagian warisan adalah cara
mengatasi kesulitan pembagian warisan jika asal masalah yang dilambangkan angka
pembilang lebih kecil dari jumlah penyebutnya. Penyelesaian masalah ini adalah
dengan membulatkan angka pembilangnya.
Contoh
kasus 1:
Seseorang meninggal dengan Ahli waris, terdiri dari suami
dan dua sdr. Perempuan kandung, dengan harta peninggalan 14.400.000,00. Berapa
bagian masing-masing ahli waris ?
Langkah 1
NO
|
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM = 6
|
1.
2.
|
Suami
2 Sdr. Perempuan sekandung
|
½
( tidak ada anak)
2/3 ( tidak ada anak)
|
½
x 6 = 3
2/3 x 6 =
4
|
Jumlah
|
= 7 bagian
|
Langkah 2
NO
|
Ahli Waris
|
Bagian
|
Jumlah Bagian
|
1.
2.
|
Suami
2 Sdr. Perempuan sekandung
|
3/7 x Rp. 1.400.000,00
4/7 x Rp. 1.400.000,00
|
Rp. 600.000,00
Rp. 800.000,00
|
Jumlah
|
Rp.1.400.000,00
|
Pada contoh di
atas dapat dilihat bahwa jumlah pembilang adalah 7 ( jumlah angka bagian ahli
waris ), lebih besar dari jumlah penyebut yaitu 6 ( yang menjadi angka
jumlah harta peninggalan /menjadi AM). Oleh karena itu angka 6 di’aul menjadi 7, sehingga bagian
masing-masing ahli waris sbb :
1.
Suami dari 3/6 menjadi 3/7 x jumlah harta
2.
Dua sdr. perempuan sekandung 4/6 menjadi 3/7 x jumlah harta
K.
PUSAKA RAHIM
Pusaka Rahim adalah saudara dari
orang yang meninggal yang tidak termasuk dalam ahli waris. Jika harta waris tidak habis dibagi
maka ahli waris tersebut mendapat kembali sebagian harta yang tersisa sesuai
dengan perbandingan masing-masing sampai habis terbagi (kecuali suami istri dimana mereka
tidak berhak memperoleh haknya lagi)
Jika ahli waris
lain tidak ada (yang ada Cuma suami istri) maka sisa harta atau sisa salah
seorang suami atau istri , diberikan kepada Rahim, jika ternyata rahim tidak
ada diberikan ke baitul mal.
L.
Wasiat
Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan dilaksanakan setelah orang
yang berwasiat itu meninggal dunia. Misal orang yang menjelang mati berpesan
terhadap orang lain (bukan ahli warisnya), bahwa ia (orang lain) itu akan
mendapat sebagaian harta peninggalannya. Pelaksanaannya setelah yang berwasiat
itu meninggal dunia, sebelum membagikan harta peninggalan kepada ahli warisnya.
Wasiat tidak boleh ditujukan kepada orang yang termasuk ahli waris, hadits nabi
:
عَنْ اَبِى أُمَمَةَ : سَمِعْتُ ص.م
يَقُوْلُ إِنَّ اللهَ قَدْ اَعْطَى كُلَّ ذِى حَقِّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثِ
(رواه الخمسة إلا النساء)
Artinya : “Dari Abu Umamah, beliau berkata,
saya telah mendengar Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT telah menentukan
hak tiap-tiap ahli waris, maka tidak ada hak wasiat”
Wasiat hukumnya
sunah, apabila tidak lebih dari sepertiga harta, tetapi bagi yang masih
mempunyai kewajiban yang belum terpenuhi, umpamanya mempunyai hutang yang belum
dibayar, atau zakat yang belum ditunaikan, maka wasiat wasiat mengenai hal-hal
yang demikian hukumnya wajib.
Wasiat hanya
ditujukan kepada orang yang bukan ahli waris, sedangkan kepada ahli waris tidak
syah kecuali apabila direlakan oleh ahli waris yang lainnya sesudah
meninggalnya yang berwasiat. Sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa harta warisan dibagikan setelah pelaksaaan
wasiat.
“Sesudah dibayar wasiat yang diwasiatkannya.” (QS. An Nisa/4
: 11)
مَا حَقُّ إِمْرِى مُسْلِمٍ لَهُ
شَيْئٌ يُرِيْدُ اَنْ يُوْصِيَ فِيْهِ يَبِيْتُ لَيْلَتَيْنِ إِلاَّ وَوَصِيَّتُهُ
مَكْتُوْبَةٌ عِنْدَهُ
Artinya :“Tidak ada seorang muslim yang
mempunyai sesuatu, yang pantas diwasiatkan sampai dua malam, melainkan
hendaknya diwasiatnya tertulis di sisi kepalanya (HR. Saikhani dan lainnya)
Seyogyanya berwasiat itu dilakukan dan disaksikan
sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi yang adil, agar beres dikemudian hari.
Wasiat dapat dibatalkan oleh orang yang berwasiat sebelum ia meninggal dunia.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Ilmu
faraid merupakan salah satu displin ilmu didalam islam yang sangat utama
dipelajari. Dengan menguasai ilmu faraid,maka insyaallah kita dapat mencegah
perselisihan dalam pembagian harta warisan,sehingga orang yang mempelajarinya
akan mempunyai kedudukan yang tinggi dan mendapatkan pahala yang benar-benar
disisi allah swt. Didalam membagi warisan kita harus membaginya secara adil
berdasarkan syariat islam yang telah disampaikan melalui al-quran, sunnah rasulnya serta ijma para
ulama.oleh karena itu kita harus berhati-hati dalam membagi harta warisan
jangan sampai orang yang berhak untuk mendapatkan hak waris menurut syariat
islam menjadi tidak mendapat hak warisnya. Dan sebaliknya malah orang yang
tidak berhak menjadi mendapatkan harta warisan
Harta yang dibahagikan kepada ahli waris adalah baki
harta yang ditinggalkan setelah ditolak segala pembiayaan pengurusan jenazah,
hutang pewaris (zakat, nazar, dll) dan wasiat yang dibenarkan oleh syarak
(tidak melebihi 1/3 dari jumlah harta). Bentuk harta yang boleh
dibahagikan secara Faraid ialah:
1.
Tanah
2.
Bangunan (rumah)
3.
Barang kemas
(emas, perak dll)
4.
Insurans dan
Wang tunai (sama ada dilaburkan atau tidak)
5.
Binatang
ternakan seperti kambing, lembu, unta, kerbau dll.
Jalan untuk melakukan pembahagian
pusaka ialah dengan terlebih dahulu meneliti siapakah di antara waris yang
berhak menerima pusaka dengan jalan Ashabul-Furud, kemudian dicari siapakah
yang Mahjud, barulah bakinya diberikan kepada yang berhak menerima Asabah.
B.
SARAN
Demikian makalah yang dapat kami susun ,semoga apa yang
ada didalamnya bermanfaat bagi semua pembaca dan khususnya pemakalah. Kritik
dan saran yang membangun senantiasa kami nantikan demi kesempurnana makalah
kami,kurang lebihnya kami pemakalah mohon maaf atas kesalahan yang ada dan
akhirnya kami ucapka banyak terimakasih.
KITAB AL - FARAID
MAKALAH
Disusun Guna memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqih
Dosen Pengampu : H.
Amin Farih, M. Ag
Disusun Oleh :
1.
SITI KHOTIJAH NIM : 123911287
2.
SUCI EKA MARYATI NIM : 123911288
PROGRAM DMS SI
PGMI FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa komentar dan masukan anda dengan blog ini ?