MAKALAH
TAHAPAN – TAHAPAN TASAWUF
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Akhlaq
Dosen Pengampu : Rosyidi, M. SI
Disusun Oleh:
Muhammad Ihsan (123911218)
Haniek Lathifah
(123911212)
Mustaqimah (123911298)
Noor Qomariyah (123911222)
Arifah (123911296)
Suci Eka
Maryati (123911288)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
Tahapan – tahapan Tasawuf
A.
PENDAHULUAN
Tasawuf adalah
membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang, menekan sifat basyariyyah(kemanusiaan),
menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat kerohanian, berpegang pada
ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya,
memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji kepada Allah, dan
mengikuti syariat Rasulullah[1]
Tasawuf secara sederhana
dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha
mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan
secara sadar dalam kehidupan. Ibnu al-Khaldun pernah menyatakan bahwa tasawuf
para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyf al-hijab
(penyingkapan tabir antara Tuhan dengan makhluk) atau hal-hal sejenisnya yang
diburu oleh para sufi di masa belakangan. Corak sufisme yang mereka tunjukkan
adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan meneladani) perilaku hidup Nabi. Islam
sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan juga
keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban,
pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-agama
lainnya.
Tasawuf merupakan salah
satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani
manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Pembersihan aspek
rohani atau batin ini selanjutnya dikenal sebagai dimensi esoterik dari diri
manusia. Hal ini berbeda dengan aspek Fiqih, khususnya bab thaharah yang
memusatkan perhatian pada pembersihan aspek jasmaniah atau lahiriah yang
selanjutnya disebut sebagai dimensi eksoterik. Islam sebagai agama yang
bersifat universal dan mencaku berbagai jawaban atas berbagai kebutuhan
manusia, selain menghendaki kebersihan lahiriah juga menghendaki kebersihan
batiniah, lantaran penilaian yang sesungguhnya dalam Islam diberikan pada aspek
batinnya. Hal ini misalnya terlihat pada salah satu syarat diterimanya amal
ibadah, yaitu harus disertai niat.
Melalui studi tasawuf ini
seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta
mengamalkannya dengan benar. Dari pengetahuan ini diharapkan ia akan tampil
sebagai orang yang pandai mengendalikan dirinya pada saat berinteraksi dengan
orang lain, atau pada saat melakukan berbagai aktivitas dunia yang menuntut
kejujuran, keikhlasan, tanggung jawab, kepercayaan dan sebagainya. Dari suasana
yang demikian itu, tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan
moral yang mengambil bentuk seperti manipulasi, korupsi, kolusi, penyalahgunaan
kekuasaan dan kesempatan penindasan.[2]
Makalah yang sederhana ini
akan dipaparkan beberapa istilah kata-kata kunci seperti tasawuf, sufi dan
tariqat, sumber dan perkembangan pemikiran tasawuf, variasi praktek tasawuf,
pendekatan utama dalam kajian tasawuf, tokoh dan karya utama dalam kajian
tasawuf, hubungan ilmu tasawuf dan filsafat dan perkembangan mutakhir studi
tasawuf.
B.
RUMUSAN MASALAH
Tahapan-tahapan tasawuf
1.
Syariat
2.
Tarekat
3.
Hakikat
4.
Makrifat
C.
PEMBAHASAN
Tasawuf adalah ilmu untuk
mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, membangun lahir
dan batin,
untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi. Tasawuf pada awalnya
merupakan gerakan zuhud (menjauhi dunia)[3].
Ada empat macam tahapan
yang harus dilalui oleh hamba yang menekuni ajaran Tasawuf untuk mencapai
suatu tujuan yang disebutnya sebagai “As-Sa’aadah”
menurut Al-Ghazaliy dan Al-Insaanul Kaamil” menurut Muhyddin bin ‘Arabiy.
Keempat tahapan itu terdiri dari Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Marifat.
Dari tahapan-tahapan tersebut, dapat dikemukakan penjabarannya sebagai
berikut:
menurut Al-Ghazaliy dan Al-Insaanul Kaamil” menurut Muhyddin bin ‘Arabiy.
Keempat tahapan itu terdiri dari Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Marifat.
Dari tahapan-tahapan tersebut, dapat dikemukakan penjabarannya sebagai
berikut:
1.
Syariat
Istilah syari’at, dirumuskan
definisinya oleh As-Sayyid Abu Bakar
Al-Ma’ruf dengan mengatakan: “Syari’at adalah suruhan yang telah diperintahkan oleh Allah, dan larangan yang telah dilarang oleh-Nya.”
Al-Ma’ruf dengan mengatakan: “Syari’at adalah suruhan yang telah diperintahkan oleh Allah, dan larangan yang telah dilarang oleh-Nya.”
Kemudian Asy-Syekh
Muhammad Amin AL-Kurdiy mengatakan: “Syari’at adalah hukum-hukum yang telah diturunkan kepada Rasulullah SAW.,
yang telah ditetapkan oleh Ulama (melalui) sumber nash Al Qur’an dan Sunnah
ataupun dengan (cara) istirahat: yaitu hukum-hukum yang telah diterangkan
dalam ilmu Tauhid, Ilmu Fiqh dan Ilmu Tasawuf.”
Hukum-hukum yang dimaksud
oleh Ulama Tauhid; meliputi keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, Kitab Suci-Nya, Rasul-Nya,
Hari Akhirat, Qadha dan Qadar-Nya; dalam bentuk ketaqwaan dengan dinyatakan
dalam perbuatan Ma’ruf yang mengandung hukum wajib, sunat dan mubah; dan meninggalkan mungkarat
yang mengandung hukum haram dan makruh. Dan hukum-hukum yang
dimaksudkan oleh Fuqaha, meliputi seluruh perbuatan manusia dalam hubungannya
dengan Tuhan-nya; yang disebut “ibadah mahdhah” atau taqarrub (ibadah murni
atau ibadah khusus) serta hubungannya dengan sesama manusia dan makhluk
lainnya, yang disebut “ibadah ghairu mahdhah” atau “ammah” (ibadah umum).
Kemudian hukum-hukum yang
dimaksudkan oleh Ulama Tasawuf, yang meliputi sikap dan perilaku
manusia, yang berusaha membersihkan dirinya dari hadats dan najis serta maksiat yang
nyata dengan istilah “At-Takhali”. Lalu berusaha melakukan kebaikan yang
nyata untuk menanamkan pada dirinya kebiasaan-kebiasaan terpuji, dengan istilah
“At-Thalli”. Bila syari’at diartikan secara sempit, sebagaimana dimaksudkan dalam pembahasan ini, maka hanya
meliputi perbuatan yang nyata, karena perbuatan yang tidak nyata (perbuatan
hati), menjadi lingkup pembahasan Tarekat. Oleh karena itu, penulis hanya
mengemukakan perbuatan-perbuatan lahir, misalnya perbuatan manusia yang merupakan fenomena
keimanan, yang telah dibahas dalam Ilmu Tauhid. Fenomena keimanan itu
terwujud dalam bentuk perbuatan ma’ruf dan menjauhi yang mungkar.
2.
Tarekat
Tarekat adalah Suatu ilmu
yang mengkaji kaitannya pengamalan zikir kepada Allah dengan praktek dalam
beribadah setiap waktu yang telah ditentukan.[4]
Dari pengertian diatas,
maka Tarekat itu dapat dilihat dari dua sisi; yaitu
amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan latihan
kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seorang, maupun secara
bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk mencapai suatu
tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqaamaat” dan “Al-Akhwaal”, meskipun kedua istilah ini ada segi perbedaannya. Latihan kerohanian itu, sering juga disebut “Suluk”, maka pengertian Tarekat dan Suluk adalah sama, bila dilihat dari sisi amalannya (prakteknya). Tetapi kalau dilihat dari sisi
organisasinya (perkumpulannya), tentu saja pengertian Tarekat dan Suluk
tidak sama.
amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan latihan
kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seorang, maupun secara
bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk mencapai suatu
tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqaamaat” dan “Al-Akhwaal”, meskipun kedua istilah ini ada segi perbedaannya. Latihan kerohanian itu, sering juga disebut “Suluk”, maka pengertian Tarekat dan Suluk adalah sama, bila dilihat dari sisi amalannya (prakteknya). Tetapi kalau dilihat dari sisi
organisasinya (perkumpulannya), tentu saja pengertian Tarekat dan Suluk
tidak sama.
Kembali kepada masalah
Al-Maqaamaat dan Al-Akhwaal, yang dapat dibedakan dari dua segi:
a)
Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh dengan cara
pengamalan ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh. Sedangkan ahwaal, di
samping dapat diperoleh manusia yang mengamalkannya, dapat juga diperoleh manusia hanya karena anugrah semata-mata dari Tuhan, meskipun ia tidak pernah mengamalkan ajaran Tasawuf secara sungguh-sungguh.
samping dapat diperoleh manusia yang mengamalkannya, dapat juga diperoleh manusia hanya karena anugrah semata-mata dari Tuhan, meskipun ia tidak pernah mengamalkan ajaran Tasawuf secara sungguh-sungguh.
b)
Tingkatan kerohanian yang disebut maqam sifatnya langgeng atau bertahan
lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada diri manusia,
dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya, namun penulis mengikuti pendapat yang membedakannya beserta alasan-alasannya.
lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada diri manusia,
dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya, namun penulis mengikuti pendapat yang membedakannya beserta alasan-alasannya.
Tentang jumlah tingkatan
maqam dan ahwaal, tidak disepakati oleh Ulama
Tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj mengatakan bahwa tingkatan maqam ada tujuh,
sedangkan tingkatan ahwaal ada sepuluh.
Tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj mengatakan bahwa tingkatan maqam ada tujuh,
sedangkan tingkatan ahwaal ada sepuluh.
Adapun tingkatan maqam
menurut Abu Nashr As-Sarraj, dapat disebutkan
sebagai berikut:
sebagai berikut:
a)
Tingkatan Taubat (At-Taubah);
b)
Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang makruh,
serta yang syubhat (Al-Wara’);
c)
Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (As-Zuhdu);
d) Tingkatan memfakirkan diri
(Al-Faqru);
e)
Tingkatan Sabar (Ash-Shabru);
f)
Tingkatan Tawakkal (At-Tawakkul);dan
g)
Tingkatan kerelaaan (Ar-Ridhaa).
Mengenai tingkatan hal
(al-ahwaal) menurut Abu Nash As Sarraj, dapat
dikemukakan sebagai berikut;
dikemukakan sebagai berikut;
a)
Tingkatan Pengawasan diri (Al-Muraaqabah);
b)
Tingkatan kedekatan/kehampiran diri (Al-Qurbu);
c)
Tingkatan cinta (Al-Mahabbah);
d) Tingkatan takut
(Al-Khauf);
e)
Tingkatan harapan (Ar-Rajaa);
f)
Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq);
g)
Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah (Al-Unsu);
h)
Tingkatan ketengan jiwa (Al-Itmi’naan);
i)
Tingkatan Perenungan (Al-Musyaahadah);dan
j)
Tingkatan kepastian (Al-Yaqiin).
3.
Hakikat
Hakikat adalah : Kepastian
yang benar dan kebenaran yang pasti tentang Allah (Tauhid).[5]
¨bÎ) #x»yd uqçlm; ,ym ÈûüÉ)uø9$# ÇÒÎÈ ôxÎm7|¡sù ËLô$$Î/ y7În/u ËLìÏàyèø9$# ÇÒÏÈ
Artinya: “Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar. Maka
bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar.” (Q.S. Waaqi’ah : 95-96)
â/ä3Ï9ºxsù ª!$# ÞOä3/u ,ptø:$# ( #s$yJsù y÷èt/ Èd,ysø9$# wÎ) ã@»n=Ò9$# ( 4¯Tr'sù cqèùuóÇè? ÇÌËÈ
Artinya: “Maka (Zat yang demikian) Itulah Allah Tuhan kamu yang Sebenarnya; Maka
tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu
dipalingkan (dari kebenaran).”(Q.S. yunus : 32)
Perkataan hakikat dalam
islam tasawuf ialah esensi atau pangkal dari semua alam yang maujud baik yang
ghoib ataupun yang syahadah. Adakalanya ilmu tasawuf dipanggil juga ilmu
hakikat. Ini kerana hakikat manusia itu yang sebenarnya adalah rohnya. Yang
menjadikan manusia itu hidup dan berfungsi adalah rohnya. Yang menjadikan
mereka mukalaf disebabkan adanya roh. Yang merasa senang dan susah adalah
rohnya. Yang akan ditanya di Akhirat adalah rohnya. Hati atau roh itu tidak
mati sewaktu jasad manusia mati. Cuma ia berpindah ke alam Barzakh dan terus ke
Akhirat.
Jadi hakikat manusia itu
adalah roh. Roh itulah yang kekal. Sebab itu ia dikatakan ilmu hakikat. Oleh
yang demikian apabila kita mempelajari sungguh-sungguh ilmu rohani ini hingga
kita berjaya membersihkan hati, waktu itu yang hanya kita miliki adalah sifat-sifat
mahmudah yaitu sifat-sifat terpuji. Sifat-sifat mazmumah iaitu sifat-sifat
terkeji sudah tidak ada lagi. Maka jadilah kita orang yang bertaqwa yang akan
diberi bantuan oleh Allah SWT di dunia dan Akhirat. Kebersihan hati inilah yang
akan menjadi pandangan Allah. Maksudnya, bila hati bersih, sembahyangnya
diterima oleh Allah SWT. Bila hati bersih, puasanya diterima oleh Allah.
4.
Makrifat
Ilmu makrifat adalah suatu
ilmu atau pengetahuan yang hakiki kepada Allah.[6] Pada
dasarnya doktrin makrifat adalah merupakan aspek lain dari tauhid. Secara etimologi makrifat berarti pengetahuan (knowledge).
term ini dalam termologi
tasawuf memiliki muatan makna yang menunjukkan pada suatu pengetahuan tentang
Allah yang datang secara langsung (dari Allah) dan orang yang memperoleh
pengetahuan ini disebut arif.
Apabila seorang sufi sudah
memperoleh makrifat, maka hatinya akan terputus dari segala hal karena tertutup oleh keagungan Allah. Disaat itu seorang sufi tidak mempunyai
keinginan apapun termasuk pahala ataupun surga,
namun semuanya dikembalikan kepada Allah. Segala amalan yang dilakukannya
hanyalah untuk Allah tanpa menghar apapun termasuk surga dan pahala.[7] Bagi
seorang sufi seperti Al Bistami, pengalaman makrifat adalah lebih manis dan
lebih nikmat dari seribu tempat yang mulia di surga firdaus.[8]
Menurut Al Bistami, yang
menjadi sumber makrifat tidak lain adalah Allah sendiri. Hal ini tergambar dari
do’a beliau; “Ya Allah, jadikanlah aku paham tentang Engkau, karena aku
tidak akan paham kamu, kecuali kamu”[9]
Untuk sampai pada tingkat marifat al Bustami telah melakukan
upaya yang luar biasa sebagaimana yang telah tergambar dalam ungkapan beliau berikut:
Aku telah bermujahadah
selama 30 tahun. Tidak ada yang lebih memberatkan diriku, kecuali ilmu dan
melaksanakannya. Kalau tidak ada perbedaan pandangan diantara para ulama, tentu
aku akan baqa. Sedangkan perbedaan diantara ulama adalah rahmat, kecuali
dalam masalah konsentrasi (tajrid) dalam tauhid.
Pada suatu saat al Bustami ditanya, “Bagaimana anda bisa sampai pada tingkatan ini (makrifat)”. Ia menjawab; “Dengan
perut yang lapar dan tubuh yang telanjang”.[10]
Makrifat merupakan capaian
yang paling puncak dari keseluruhan amalan zuhud yang telah
dijalankannya. Sebagaimana yang diceritakan beliau, ada 4 proses kezuhudan
yang dilakukannya: (1) zuhud dari dunia dan segala isinya; (2) zuhud
dari akhirat dan segala yang ada di dalamnya; (3) zuhud dari segala hal
kecuali Allah; (4) tidak tersisa sedikitpun selain Allah SWT. Saat itulah
beliau benar-benar terlah tercapai makrifat.[11]
D.
KESIMPULAN
Tasawuf
adalah ilmu yang mengandung ajaran-ajaran tentang kehidupan keruhanian,
kebersihan jiwa, cara-cara membersihkannya dari berbagai penyakit hati, godaan
nafsu, kehidupan duniawi, cara-cara mendekatkan diri kepada Allah seta fana
dalam kekekalan-Nya sehingga sampai kepada pengenalan hati yang dalam akan
Allah. Sufi adalah orang yang menjalankan tasawuf. Sedangkan tarekat adalah
jalan yang ditempuh oleh para sufi untuk dapat dekat kepada Allah.
Thariqah juga mengandung pengertian organisasi.
Keperibadian
manusia telah disemai sebagai sebaik-baik penciptaan yang
Allah SWT mengutamakan atas segala penciptaan yang lain.
Kecemerlangan penciptaan yang dinamakan insan ini memerlukan
panduan yang sebaik-baiknya, baik
mengharungi buaian gelora dunia. Tujuannya tiada lain
melainkan supaya insan ini akan
pulang ke pangkuan Allah dalam keadaan sebaik-baiknya
sebagaimana keadaannya ketika dalam mula-mula kejadian.
E.
PENUTUP
Dengan
ini kami akhiri pembentangan suatu khazanah Islam yang unggul ini dengan
harapan ianya menjadi wasilah bagi mencerminkan segelintir isi kandungan yang
terkandung didalam ilmu yang besar ini. Semoga makalah ini menjadi alat bagi mendatangkan kefahaman kepada
ajaran Tasawuf.
DAFTAR PUSTAKA
www.wikipedia.org
Muhammad Hasyim. Dialog antara Tasawuf dan Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002.
Abu al-Qasim bin Abd al Karim bin Hawazi al Qusyairi al Naisaburi. Al-Risalah al-Qusyairiyah. Dar al-Khair,tt
Al-Atthar, Farid
Al-Din. Tadzkirat al-Auliya’. Teheren : Zuwar ,1957.
Kartanegara, Mulyadhi. Menyelami Lubuk
Tasawuf. Jakarta: Erlangga, 2006.
Media Zainul Bahri, MA. Menembus Tirai
Kesendirian-Nya: Mengurai Maqamat dan Ahwal dalam Tradisi Sufi.
Jakarta: Prenada, 2005.
[1]
Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002),
jilid 4, h. 139
[5]
Jamaluddin Kafie.
Tasawuf Kontemporer.(Jakarta: Repubika, 2003)., hal 113
[10] Imam al Qursyairi al naisaburi, Risalah Qusyairiyah,
terj., Muhammad Luqman Hakiem, Rislah Gusti., hal 493
terima kasih banyak
BalasHapus